Bahwasannya SKPT sangat penting perihal menciptakan suatu kepastian terhadap subjek yang akan melakukan suatu perbuatan hukum berupa memahami mengenai riwayat tanah yang meliputi data fisik dan data yuridis untuk perbuatan hukum atas lelang dan pembelian tanah. Yang dimana pada SKPT tersebut mencakup Data  fisik yang  menunjukkan batas-batas luas tanah dan siapa  subyek  hukum  yang  menguasai  obyek tanah  secara  langsung, kemudian data yuridis yang menunjukan  adanya  riwayat-riyawat  peralihan  hak  atas  tanah  terdahulu.
Atas pentingnya terhadap SKPT perihal untuk melakukan suatu perbuatan hukum yang terkait, maka perlu ditelisik juga mengenai bagaimana prosedural atas mekanisme dalam pengajuan sutau SKPT. Bahwasannya SKPT diatur dalam Pasal 41 Ayat (2) dan (3) PP No 24 Tahun 1997 kemudian Pasal 187 PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2021. Hanya saja kedua aturan tersebut hanya mengatur perihal SKPT secara garis umum dan tidak mengatur secara khusus atau rinci mengenai mekanisme dari pengajuan suatu SKPT. Terkait pengajuan SKPT hanya mengatur pengajuan SKPT secara elektronik yang termuat pada Bagian V. LAYANAN SURAT KETERANGAN PENDAFTARAN TANAH (SKPT) ANGKA 3 PETUNJUK TEKNIS NOMOR 5/Juknis-100.HK.02/VIII/2021 TENTANG LAYANAN INFORMASI PERTANAHAN DAN TATA RUANG SECARA ELEKTRONIK, Bahkan mengenai pengajuan SKPT secara elektronik pun sampai sekarang dapat dikatakan masih belum jelas pelaksanaannya secara praktik. Dalam tulisan kali ini penulis berfokus kepada bagaimana teknis produk hukum yang dihasilkan atas pengajuan SKPT non elektronik yang dimana dalam pelaksanaannya setiap daerah memiliki ketentuan dan produk hukum yang berbeda beda, dalam artian perihal pengajuan SKPT ini masih ditemukan suatu ketidakpastian hukum atas pelaksanaannya.
Apabila melihat secara pelaksanaannya atas produk hukum mengenai pengajuan suatu SKPT ada yang mengeluarkan produk hukum yang bermacam-macam berupa Peraturan seperti hal nya PERATURAN BUPATI KARIMUN NOMOR 51 TAHUN 2021 TENTANG ADMINISTRASI PERTANAHAN DESA DAN KELURAHAN dan Keputusan setiap kantor pertanahan masing-masing daerah. Padahal secara yang seharusnya dua bentuk produk hukum memiliki perbedaan secara esensial dan eksistensial, peraturan yang memiliki kaedah selalu bersifat umum dan abstrak dengan penjelasannya berupa keberlakuannya ditujukan kepada siapa saja yang dikenai perumusan kaedah umum, sedangkan keputusan selalu bersifat individual dan kongkrit (individual and concrete) dan tidak bisa melanggar terhadap ketentuan dari suatu peraturan atau merupakan rangkaian pelaksanaan dari suatu peraturan.
 Dalam hal ini dapat dilihat dari bagaimana produk hukum terkait pengajuan SKPT yang berbeda-beda hanya saja memiliki materi muatan yang sama, dalam artian tidak jelas secara seharusnya atas produk hukum yang secara seharusnya digunakan. Apabila kita mengacu atas produk hukum pengajuan SKPT elektronik yang telah ada dan terintegrasi secara umum yang diberikan untuk ruang lingkup skala nasional, maka menjadi pertanyaan juga seharusnya Produk hukum untuk pengajuan SKPT non elektronik seharusnya juga memiliki kaedah hukum yang sama juga dengan bagaimana pengajuan SKPT Elektronik.
Bahwasannya dalam hal ini penulis berpendapat seharusnya perihal produk hukum pengajuan SKPT non elektronik diatur sedemikian rupa seperti hal nya produk hukum atas pengajuan SKPT elektronik yang terintegrasi secara umum oleh lembaga terkait yang berwenang, sehingga tidak ada perbedaan di setiap daerah yang mengakibatkan ketidakpastian hukum atas pelaksanaan untuk pengajuan suatu SKPT.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H