Mohon tunggu...
Fadilah Rizkia
Fadilah Rizkia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Memiliki hobi menulis dan minat baca terhadap topik psikologi dan sosial baik dalam bentuk artikel, news, opini maupun jurnal

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Keluarga Adalah Obat Bukan Racun Untuk Kesehatan Mental Anak

23 Juni 2023   22:00 Diperbarui: 23 Juni 2023   22:29 768
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar ilustrasi gangguan mental 

Akhir-akhir ini kita seringkali disuguhkan dengan maraknya kasus bunuh diri, hal tersebut akibat dari gangguan mental yang sudah terlalu dalam. Sehingga membuat individu merasa lelah dan takut hingga memunculkan pikiran untuk menghentikan penderitaan tersebut dengan cara bunuh diri. Pada tanggal 28 Mei 2023, Kompas.com memberitakan sebuah kasus murid SMP gantung diri, tepatnya pada tanggal 27 Mei 2023 dengan dugaan tidak di beri handphone oleh orang tuanya.

Seseorang dikatakan mengalami gangguan mental apabila individu tersebut merasakan tekanan hidup yang mencakup psikologis, fisik dan sosial. Dalam data Indonesia National Adolecent Mental Health Survei 2022, remaja mengalami masalah mental sebanyak 15,5 juta (34,9 persen) dan remaja mengalami gangguan mental sebanyak 2,45 juta (5,5 persen). Dari jumlah itu, baru 2,6 persen yang mengakses layanan konseling, baik emosi maupun perilaku. 

Pada tahun 2018 berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) terdapat lebih dari 19 juta penduduk Indonesia berusia di bawah 15 tahun mengalami gangguan mental dan lebih dari 12 juta penduduk berusia di atas 15 tahun mengalami depresi. Tak sedikit korban yang rela bunuh diri untuk lepas dari masalah yang mereka hadapi, hal tersebut merupakan kacaunya mental health seseorang akibat tekanan, hilangnya keyakinan terhadap diri sendiri dan masalah di luar batas kendalinya.

Dari sekian banyaknya jumlah korban kesehatan mental di setiap tahunnya,yang menjadi  salah satu  faktor penyebabnya adalah  keluarga, tak sedikit yang mengalami gangguan kesehatan mental akibat keluarga mereka sendiri. Keluarga yang seharusnya  menjadi tempat pulang ternyaman, menjadi tempat di mana kita dapat menjadi diri sendiri, mengekspresikan segala hal yang kita rasa, menceritakan berbagai hal senang maupun sedih. Tak semua orang dapat merasakan kehangatan tersebut, keluarga yang seharusnya menjadi rumah untuk pulang berubah menjadi rumah hantu yang menyeramkan.

Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi, salah satunya yang banyak terjadi adalah kondisi keluarga yang tidak lengkap (Broken Home). Banyak anak broken home yang kehilangan arah, menjadi lebih agresif, emosional dan bahkan muncul trauma. Mengutip dari jurnal  hasil penelitian mahasiswa pengaruh broken home terhadap anak, dalam tulisannya menyatakan  dalam segi kejiwaan atau  psikologis siapapun yang mengalami  broken home akan berakibat juga pada broken heart. 

Anak broken home akan menjadi lebih emosional dalam menghadapi kondisi perasaannya baik kesal, kecewa, sedih yang mendalam, resah gelisah dengan perpisahan orang tua dan bingung akan berada di pihak siapa. Tak jarang seorang anak akan sibuk menyalahkan diri mereka sendiri akibat perceraian orang tuanya. Kondisi keluarga yang tidak lengkap ini akan membuat anak kekurangan perhatian dan kasih sayang dari sebagian pihak akibat perpisahan tempat tinggal dan komunikasi yang terbatas.

Memiliki keluarga yang lengkap juga tidak menutup kemungkinan untuk memicu gangguan mental, pola didik dan tuntutan yang di berikan keluarga juga menjadi faktor penyebab gangguan mental terhadap seorang anak. Pola asuh yang salah dengan mengutamakan kekerasan, baik fisik maupun lisan. Tuntutan  dari orang tua kepada anak akan menimbulkan rasa cemas dan ketakutan terhadap  masa depannya sendiri. Tuntutan yang terus di torehkan membuat rasa takut akan  kegagalan terhadap  harapan yang telah di berikan orang tua kepadanya.

Tingkat pendidikan orang tua juga menjadi faktor penyebabnya, banyak orang tua dengan kondisi pendidikan yang rendah terus menghantui atau bahkan menghambat pendidikan anak. Orang tua dengan tingkat pendidikan rendah akan memiliki pola pikir yang singkat, dampak tersebut membuat perbedaan pola pikir antara anak dan orang tua hingga memicu terjadinya perdebatan. 

Terus mengungkit jumlah uang yang telah di keluarkan selama pertumbuhan atau pengasuhan kepada anak, perlakuan tersebut  merupakan tuntutan orang tua terhadap anak untuk memberikan kesuksesan di masa depan atau sebagai tuntutan agar anak tidak melakukan kegagalan. Tumbuh di dalam keluarga yang tidak dapat menerima segala aspek kehidupan pada diri seorang anak apa adanya dengan terus  membandingkan segala hal  dengan orang lain menjadikan anak tidak percaya diri lebih sering insecure bahkan kerap menutup diri dan kemampuannya dari orang lain.

Keluarga menjadi tempat untuk bercerita tentang hal sulit maupun senang, keluarga adalah orang terdekat yang menjadi alasan melakukan segala hal, namun bagaimana dengan kondisi mereka jika alasan mereka untuk bertahan dan terus menjalankan hidup menjadi penyebab hancurnya mental mereka?. Lantas dimana lagi tempat mereka untuk mengadu jika keluarga mereka sendirilah yang menjadi penyebab penyakit tersebut?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun