Penulis: Siti Fadila Utiarahman, Adrian Yusuf, Moh. Rizki B. Dunggio., M.Psi., Psikolog
Tahukah kamu bahwa budaya tidak hanya membentuk identitas sebuah masyarakat, tetapi juga cara kita bekerja dan berinteraksi di tempat kerja? Budaya memiliki peran penting dalam membentuk perilaku individu, termasuk di tempat kerja. Dalam konteks organisasi, budaya mencakup nilai, norma, dan tradisi yang memengaruhi cara seseorang berinteraksi, mengambil keputusan, hingga menyelesaikan tugas. Misalnya, budaya kolektivis seperti di Jepang dan Indonesia menekankan pentingnya kerja tim, sementara budaya individualis seperti di Amerika Serikat lebih mengutamakan kemandirian dan pencapaian pribadi (Dayaksini et al, 2022) . Setiap budaya juga memiliki cara berbeda dalam memaknai pekerjaan. Di budaya kolektivis, pekerjaan sering dianggap bagian dari identitas kelompok, sedangkan di budaya individualis, pekerjaan dilihat sebagai alat untuk mencapai tujuan pribadi. Meski berbeda, mayoritas budaya sepakat bahwa pekerjaan adalah sarana untuk memenuhi kebutuhan finansial dan memberikan keamanan.
Menurut Geert Hofstede dalam (Dayaksini et al, 2022) ada beberapa dimensi budaya yang memengaruhi organisasi, seperti jarak kekuasaan (power distance) yang menentukan seberapa besar perbedaan status diterima dalam organisasi, serta penghindaran ketidakpastian (uncertainty avoidance) yang menunjukkan tingkat toleransi terhadap situasi yang tidak pasti. Dimensi lain meliputi individualisme vs kolektivisme dan maskulinitas vs feminitas yang berhubungan dengan fokus pada prestasi atau hubungan interpersonal. Dimensi-dimensi ini menunjukkan bahwa budaya sangat memengaruhi struktur organisasi, hubungan antaranggota, serta cara pengambilan keputusan. Perilaku kerja dalam industri dan organisasi jika dilihat melalui falsafah budaya Gorontalo sebagai bagian dari Indonesia juga menunjukkan pola kolektivis yang kuat.
Konsep huyula atau semangat gotong royong yang kental dalam tradisi Gorontalo menjadi salah satu nilai utama yang tercermin dalam kehidupan bermasyarakat dan bekerja. Nilai ini menekankan kebersamaan dan saling mendukung, baik dalam menyelesaikan tugas maupun menghadapi tantangan. Di lingkungan kerja, nilai huyula dapat diterjemahkan sebagai kerja sama tim yang erat, di mana setiap anggota memiliki tanggung jawab kolektif untuk mencapai tujuan bersama. Hal ini sejalan dengan temuan bahwa budaya kolektivis cenderung mendorong produktivitas dalam kerja kelompok (Gani et al, 2020). Selain konsep huyula, nyatanya masih terdapat konsep lainnya yang menjadi falsafah budaya dalam keberlangsungan perilaku kerja di Gorontalo, salah satu nilai budaya yang penting yakni Pohala’a atau sikap hormat. Nilai ini menjadi pedoman dalam membangun hubungan yang harmonis dan produktif di lingkungan kerja. Mari kita telusuri bagaimana Pohala’a bisa menjadi inspirasi bagi dunia kerja modern!
Mengapa Budaya Itu Penting di Tempat Kerja?
Budaya adalah “kompas” yang membimbing cara kita berpikir, bertindak, hingga menyelesaikan tugas. Misalnya, di budaya kolektivis seperti Indonesia dan Jepang, kerja tim adalah kunci. Pekerjaan sering dilihat sebagai bagian dari identitas kelompok, sehingga keberhasilan bersama lebih penting daripada pencapaian individu. Sebaliknya, di budaya individualis seperti Amerika Serikat, kemandirian dan prestasi pribadi mendapat perhatian lebih besar. Nah, bagaimana dengan Provinsi Gorontalo? Salah satu Provinsi di pulau Sulawesi, Gorontalo banyak memuat nilai-nilai kolektivis masih sangat kuat, dan salah satu yang paling menonjol adalah istilah Pohala’a.
Apa Itu Pohala’a?
Secara tradisional adat Gorontalo, U Duluwolimo Lo Pohala’a (lima kerajaan di Gorontalo) berperan sebagai kekuatan utama dalam membangun kehidupan masyarakat Gorontalo yang harmonis dan bernuansa kekeluargaan. Nilai ini mencerminkan cita-cita masyarakat untuk menciptakan kehidupan damai yang penuh toleransi, solidaritas, demokrasi, dan kelestarian. Keterbukaan masyarakat Gorontalo dalam berinteraksi dengan kelompok lain mencerminkan upaya menjaga keseimbangan kehidupan, terutama melalui kebiasaan memelihara hubungan baik di dalam maupun antar kelompok masyarakat. Nilai luhur ini diwujudkan dalam kesetiaan terhadap hukum adat dan agama, dengan menjunjung falsafah “adat bersendikan syara’, syara’ bersendikan kitabullah.” Filosofi ini menekankan pentingnya tata krama dan kesopanan sebagai pedoman dalam menciptakan interaksi yang beradab dan harmonis di kehidupan sosial (Haryati et al, 2014).
Dalam konteks nilai Pohala’a, sikap saling hormat menjadi inti dari hubungan antar manusia di Gorontalo. Sikap ini bukan hanya soal kesopanan, tetapi juga menjaga hubungan penuh penghargaan, baik di antara sesama maupun dengan atasan. Dalam lingkungan kerja, nilai Pohala’a menciptakan suasana yang harmonis, di mana setiap orang merasa dihormati dan dihargai. Dengan mengutamakan sikap ini, potensi gesekan akibat perbedaan pendapat dapat diminimalkan karena setiap individu berusaha menjaga keharmonisan. Oleh karena itu, Pohala’a bukan hanya sebuah prinsip adat, tetapi juga panduan universal untuk menciptakan hubungan sosial yang bermartabat dalam berbagai konteks kehidupan.
Pohala’a dan Gaya Kepemimpinan
Dalam budaya Gorontalo, seorang pemimpin ideal sering dipandang sebagai sosok yang melindungi dan peduli terhadap bawahannya, sekaligus memotivasi mereka untuk berkembang. Model kepemimpinan ini mirip dengan budaya Asia lainnya, seperti Jepang, di mana keharmonisan kelompok lebih diutamakan daripada otoritas individu. Pemimpin dengan nilai Pohala’a bukan hanya memberi arahan, tetapi juga membangun kepercayaan dan rasa hormat di antara anggota timnya. Hasilnya? Menciptakan kerja sama tim yang solid dan produktivitas yang meningkat.