Mohon tunggu...
Mohamad Fadhilah Zein
Mohamad Fadhilah Zein Mohon Tunggu... -

Suka menulis cerpen, tapi baru enam cerpen yang ditulis selama ini... Suka dengan dunia fotografi, videografi, motion art, illustrator, wirausaha, dan lain sebagainya...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Novelipasiana: Bidadari Neraka (15)

5 Oktober 2011   01:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:20 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

aya berusaha mengejar Nabila yang sudah tidak terlihat karena masuk ke dalam lift. Langkahnya cepat, sesuai dengan karakternya yang tidak suka basa-basi. Namun, saya merasa ada yang berbeda dengan wanita cantik tersebut. Apalagi setelah keluar dari ruangan Sylvana, saya melihat sekilas ada air di matanya.

“Bram, lu nggak boleh keluar kantor dulu. Setiap rapat redaksi lu nggak pernah datang. Mau gue SP lagi lu,” tiba-tiba Sasongko muncul dari arah belakang. Rupanya dia berusaha mengumpulkan seluruh reporter untuk tidak pulang lebih awal. Setiap sore, Sylvana sebagai pemimpin redaksi memberikan wejangan kepada seluruh bawahannya. Tapi, saya merasa wanita itu sebenarnya hanya mencari-cari kesalahan.

“Iya Bang, gue nggak kemana-mana,” ujarku dengan suara tersendat karena  hanya bisa menelan ludah menghadapi sikapnya yang semakin arogan. Saya merutuki nasib sebagai pekerja kelas bawah di perusahaan ini.

“Gagal sudah mengejar Nabila yang misterius,” saya merutuk dalam hati.

“Ayo cepet, lu malah bengong,” kata Koordinator Liputan yang berwajah sangar itu.

“Siap Bang,” saya menjawab singkat.

Saya lalu mengikuti langkahnya. Pria ini memang dimusuhi oleh reporter karena sering kejam. Tentunya arti kejam bukan berhubungan dengan tindakan kriminal. Dia suka memberikan perintah liputan di luar batas. Saya teringat ketika disuruh meliput peristiwa kebakaran di Bogor pada siang hari, lalu seenaknya dia menyuruh peristiwa yang sama di Jakarta Utara pada malam harinya. Saya sempat menolak karena lokasinya yang terlalu jauh, tapi dia dengan entengnya mengancam akan memberikan Surat Peringatan.

Adalagi kekejaman lainnya yang menyengsarakan para pemburu berita. Dia pernah memerintah seorang reporter wanita untuk membuat laporan langsung dari lokasi banjir. Reporter tersebut disuruhnya berdiri di dalam air keruh dengan ketinggian air seleher orang dewasa. Selama setengah jam, reporter malang itu harus menginformasikan secara langsung. Beruntung sekali reporter tersebut tidak terkena penyakit kulit atau terbawa arus, padahal aliran banjir sangat deras. Benar-benar korlip penjagal.

Di dalam ruangan, Sylvana sudah duduk di kursi paling depan. Meja kaca berbentuk segi empat dipenuhi kertas-kertas putih yang berserakan. Sasongko mengambil kursi yang berada di sampingnya. Sementara saya memilih mojok untuk menikmati kicauan-kicauan si Bidadari Neraka selama satu jam ke depan. (Bersa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun