“Dek cika gigi nya mana?” kataku sambil menggoda sepupu kecilku. Sambil malu-malu cika memperlihatkan giginya yang sudah lengkap. Padahal terakhir kulihat dulu, cika hanya mempunyai dua gigi seri atas dan dua gigi seri bawah. Senyumnya yang lucu membuatku tertawa terpingkal-pingkal. “Hemm.. Dek Cika sudah besar ya”. Sepupuku satu ini memang selalu menjadi mood boosterku ketika aku main ke rumah Budhe. Tak terasa sepupuku yang super imut ini sudah memasuki usia empat tahun. Setiap aku main ke rumah Budheku, dia selalu bersemangat untuk bermain denganku. Sepertinya kali ini begitu. Dia langsung berlari ke pangkuanku dan meminta kepadaku untuk bermain dokter dokteran.
“Oh.. cika kalau udah gede nanti pengen jadi dokter ya?” “iya kak..” jawabnya sambil menganggukkan kepala. “Aku yang jadi dokternya ya, nanti kakak yang jadi ibunya” katanya sambil menunjuk boneka taddy bear yang matanya tinggal satu. Lalu dia mulai menanyaiku tentang apa yang dialami oleh boneka beruang tadi. Aku sempat kaget, kosa kata yang dia pakai cukup banyak. Dan cukup membuatku tertawa terpingkal-pingkal. Mungkin dia terkena dampak televisi. Atau mungkin dia belajar dari teman-temannya yang lain.
Cika tampak serius bak dokter sungguhan. Dia dengan canggihnya mengeluarkan pensil suntiknya dan menancapkan perlahan ke tangan si beruang. Lalu mulai mencari-cari sesuatu yang ada di dalam tas dokternya. Ternyata alat tersebut tak kunjung ketemu. Lalu dia berlari dan berteriak ke mamanya. “ Ma.. bandana cika kemaren dimana?” setelah dia mencari di sekitar kamar akhirnya dia menemukannya. Dan langsung memasang tali raffia ke bandana tersebut. Setelah selesai lalu dia memakainya seperti dokter memakai stetoskop. Aku memperhtikan Cika dengan takjub. Kali ini aku tidak mau mengganggu keseriusannya dalam mengerjakan tugasnya. Ya, sebagai dokter beruang teddy.
Setelah lama bermain dengan Cika, budheku langsung memanggilku dan Cika untuk makan siang. Menu nya adalah sayur sop beserta ayam dan tempe. Ku lihat dari mejaku, rupanya Cika sudah belajar untuk mengambil makanannya sendiri. Tapi aneh nya dia tidak mengambil sayur sopnya. Dia hanya mengambil nasi dan ayam. Budheku yang melihat dari mejanya langsung menegur Cika dengan nada sayang. “Loh.. cika kok nggak ngambil sayur?” Cika dengan wajah cemberutnya langsung geleng-geleng kepala seraya menutup mulutnya dengan tangan. “Loh.. Cika nggak boleh gitu. Cika emang nggak kasihan sama mama, udah masakin sop nya buat Cika, masak nggak dimakan? Nanti wortel sama kubisnya nangis loh, kalau nggak cika makan.” Aku langsung menyahut, “Iya dek Cika, sayur itu bikin cepet gede lo dek, bikin sehat juga. Masak nanti kalo dek Cika jadi dokter, eh malah sakit. Kan kasian pasiennya nunggu dek Cika sembuh kan lama.” Dia melihatku sambil berfikir keras.
Aku melihat tangannya mulai meraih gagang sayur tadi, lalu menyendokkan ke piringnya. Aku langsung berteriak bahagia “wowww.. Dek Cika hebat ya. Hemm.. nanti dek Cika pasti jadi dokter yang hebat dan sehat juga”. Walaupun aku melihatnya memakan sop tersebut dengan meringis-meringis, tapi mungkin itu awal dia untuk selalu mencintai sayuran. Setelah suapan kedua, dia dengan lahapnya memakan makanannya tersebut. Setelah makanan kita habis, aku dan Cika langsung tos dan tertawa. Entah apa yang kami tertawakan. Tapi aku yakin, Cika sedang mengalami banyak perkembangan serta pertumbuhan pada usianya kini. Dan pada usia ini, anak-anak sudah bisa melakukan suatu hal sendiri, meskipun masih perlu pengawasan orang tua. Dan juga dorongan untuk sebuah tindakan yang harus ia pilih. Walaupun anak-anak memang cenderung kurang suka dengan sayuran, kita sebagai orangtua harus bisa memakai trik trik yang jenius. Mulai dari kata-kata yang lembut, bujuk rayu, dan trik memasak yang kreatifpun harus dilakukan demi menjaga keseimbangan gizi anak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H