Mohon tunggu...
Fadhol
Fadhol Mohon Tunggu... Diplomat - Mahasiswa aktif program Studi Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga

Menulis = rutinitas

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

HAM BAGI JANIN DI INDONESIA

18 Januari 2021   19:53 Diperbarui: 21 Januari 2021   20:15 6025
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dengan maraknya aborsi di Indonesia, seolah hak hidup untuk janin tidak ada, padahal janin memiliki hak yang sama dan  harus dijaga karena janin nantinya akan tumbuh dan berkembang menjadi manusia dan akan menghasilkan hal yang sama. Berapapun usianya, janin tetap memiliki hak untuk hidup serta dipertahankan, sepanjang tidak membahayakan kondisi yang mengandung dan itu sudah tertera dalam Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang didalamnya memuat terkait perlindungan hak janin. Dalam pasal 53 dinyatakan bahwa, "Setiap anak sejak dalam kandungan, berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya". Anak dalam kandungan yang dimaksud adalah janin yang nantinya akan tumbuh menjadi anak dan berkembang selayaknya manusia.

Selain pada pasal diatas, terdapat pasal yang menyatakan bahwa kriteria tentang perlindungan anak, berdasarkan Pasal 1 butir (1) UU.No.23 Tahun 2002 yang menyatakan bahwa seseorang dapat dikatakan sebagai anak jika "Seseorang yang berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan". Anak mempunyai hak untuk mendapat perlindungan, yakni segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan , serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan deskriminasi.

 Selain pada Undang-undang, hak asasi bagi janin juga tertuang didalam hukum adat serta hukum Islam yang mengatur tentang keberadaan calon anak atau janin, dalam hal ini Majelis Ulama Indonesia ("MUI") pada tahun 2005 mengeluarkan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 4 Tahun 2005 tentang Aborsi ("Fatwa MUI 4/2005"). Fatwa ini dikeluarkan atas pertimbangan bahwa dewasa ini semakin banyak terjadi tindakan aborsi yang dilakukan oleh masyarakat tanpa memperhatikan tuntunan agama.

Selain itu, aborsi juga banyak dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak memiliki kompetensi di bidangnya, sehingga banyak masyarakat yang mempertanyakan hukumnya, apakah haram secara mutlak ataukah boleh dalam kondisi-kondisi tertentu. Dengan mendasarkan pada al-Qur'an, hadis, kaidah fikih, dan pendapat para ulama klasik, maka MUI menyatakan bahwa aborsi haram hukumnya sejak terjadinya implantasi blastosis pada dinding rahim ibu (nidasi).

Aborsi dibolehkan karena adanya uzur, baik yang bersifat darurat ataupun hajat. Keadaan darurat yang berkaitan dengan kehamilan yang membolehkan aborsi adalah: Perempuan hamil menderita sakit fisik berat seperti kanker stadium lanjut, TBC dengan cavern dan penyakit-penyakit fisik berat lainnya yang harus ditetapkan oleh tim dokter. Dalam keadaan di mana kehamilan mengancam nyawa si ibu.

Keadaan hajat yang berkaitan dengan kehamilan yang dapat membolehkan aborsi adalah: Janin yang dikandung dideteksi menderita cacat genetik yang kalau lahir kelak sulit disembuhkan. Kehamilan akibat pemerkosaan yang ditetapkan oleh tim yang berwenang yang di dalamnya terdapat antara lain keluarga korban, dokter dan ulama. Aborsi haram hukumnya dilakukan pada kehamilan yang terjadi akibat zina.

Berangkat dari Fatwa MUI di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya MUI sepakat dengan ulama klasik maupun kontemporer, bahwa aborsi qabla nafkh al-ruh diharamkan dan MUI sangat ketat, sebagaimana pendapatnya al-Gazali, bahwa aborsi qabla nafkh al-ruh dilarang sejak terjadinya implantasi blastosis pada dinding rahim ibu (nidasi).

Meskipun demikian, MUI memberikan pengecualian aborsi jika ada indikasi yang bersifat darurat maupun hajat. Pengecualian ini dibatasi sampai janin berusia 40 hari, tentu ini sama dengan pendapat yang dinyatakan oleh sebagian besar fuqaha' Syafiiyyah, sebagian besar fuqaha' Hanabilah, dan sebagian kecil fuqaha' Hanafiyyah. Sementara aborsi akibat perzinaan, maka MUI secara mutlak mengharamkannya.

Pengguguran merupakan tindakan yang disengaja dan ini dapat menghilangkan hak janin untuk hidup sampai ia lahir nanti. Tindakan yang tidak menaruh rasa hormat terhadap nilai kehidupan janin diakibatkan oleh mereka yang mementingkan kepentingan pribadi sendiri dan tidak memandang bahwa janin merupakan manusia yang utuh dan berhak untuk hidup. 

Didalam hukum agama maupun hukum perdata sangat jelas bahwa janin memiliki hak yang sama layaknya ia setelah lahir, Hak hidup yang diberikan oleh Tuhan, oleh karena itu pelanggaran terhadap hak orang lain merupakan suatu kesalahan yang besar. Untuk menghindari pelanggaran hak hidup maka perlu pengetahuan secara luas bagi masyarakat supaya tidak terjadi lagi pelanggaran ham di tengah masyarakat terhadap orang lain, meskipun itu pada anak yang masih didalam kandungan sekalipun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun