Pendahuluan
Pohon lontar (Borassus flabellifer) memiliki peran yang tak tergantikan bagi masyarakat di Nusa Tenggara, tidak hanya sebagai bagian dari ekosistem lokal, tetapi juga sebagai sumber penghidupan. Berbagai bagian dari pohon ini dimanfaatkan secara luas, seperti daun yang digunakan untuk bahan kerajinan tangan, batang sebagai bahan bangunan, dan buahnya sebagai sumber pangan. Selain itu, ekstrak dari batang pohon lontar menghasilkan nira yang difermentasi menjadi minuman tradisional, memberikan nilai ekonomi tambahan bagi penduduk setempat. Dalam perspektif budaya, pohon lontar sering kali dianggap sebagai simbol ketahanan hidup masyarakat Nusa Tenggara, mencerminkan adaptasi terhadap lingkungan kering dan keras. Oleh karena itu, pohon lontar bukan hanya tanaman endemik, tetapi juga bagian dari identitas dan kesejahteraan masyarakat di wilayah tersebut.
Karaktersitik Iklim Nusa Tenggara
Nusa Tenggara sebagai wilayah dengan karakteristik iklim semi-arid, yang membedakannya dari kebanyakan wilayah tropis lain di Indonesia. Pohon lontar (Borassus flabellifer) menjadi tanaman endemik yang menonjol di wilayah ini dan memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat setempat (Lukman Baihaqi et al., 2022). Di Nusa Tenggara, pohon lontar dimanfaatkan untuk beragam keperluan dari bahan pangan, bahan bakar, hingga bahan baku kerajinan tangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi bagaimana pohon lontar beradaptasi dengan kondisi iklim ekstrem di Nusa Tenggara, serta dampak perubahan iklim yang berpotensi mengancam keberlangsungan tanaman ini. Dengan memahami adaptasi pohon lontar, dapat dikembangkan strategi konservasi yang lebih efektif (Ratusehaka & Manakane, 2024).
Nusa Tenggara dikenal sebagai daerah semi-arid dengan pola iklim yang relatif kering. Curah hujan tahunan rata-rata berkisar antara 800 hingga 1.200 mm, jauh lebih rendah dibandingkan wilayah Indonesia lainnya. Kondisi ini menyebabkan musim kemarau yang panjang, sementara musim hujan berlangsung singkat, sering kali hanya beberapa bulan dalam setahun (Riwu Kaho, 2016). Faktor iklim ini berdampak langsung pada pola vegetasi di wilayah ini, yang terdiri dari tanaman yang mampu beradaptasi dengan kondisi kering, seperti pohon lontar. Pengaruh El Nio dan La Nia juga menyebabkan fluktuasi yang ekstrim pada curah hujan, memperpanjang musim kering saat El Nio dan meningkatkan intensitas curah hujan saat La Nia (Lesilolo et al., 2024).
Penelitian lain menunjukkan bahwa suhu tahunan di wilayah ini berkisar antara 29.9C yang merupakan suhu rata-rata yang cukup tinggi (Ambi et al., 2020). Hal ini memaksa flora dan fauna setempat untuk mengembangkan adaptasi khusus guna bertahan hidup. Dalam konteks tanaman endemik seperti lontar, iklim yang kering dan suhu yang tinggi menjadi tantangan sekaligus kondisi yang memicu adaptasi.
Kelembapan di Nusa Tenggara mengalami fluktuasi yang signifikan antara musim hujan dan kemarau. Selama musim kemarau, kelembapan udara cenderung rendah, yang meningkatkan laju transpirasi dan risiko kehilangan air pada tanaman. Untuk mengatasi kondisi ini, pohon lontar memiliki adaptasi berupa daun yang tebal dan dilapisi kutikula lilin, yang berfungsi sebagai pelindung alami untuk mengurangi penguapan air. Ketika kelembapan meningkat di musim hujan, pohon lontar dapat memanfaatkan kondisi tersebut untuk mempercepat pertumbuhannya dan mengoptimalkan penyerapan air. Adaptasi ini memungkinkan pohon lontar menyesuaikan diri dengan variasi kelembapan, menjaga cadangan air selama musim kemarau yang panjang.
Angin kencang yang sering terjadi selama musim kemarau di Nusa Tenggara merupakan tantangan tersendiri bagi pohon lontar, terutama dalam hal mempertahankan kelembapan. Angin mempercepat proses penguapan air baik dari tanah maupun dari permukaan daun, yang dapat memperburuk kondisi kekeringan. Selain itu, angin kuat juga dapat mengganggu proses penyerbukan, yang penting bagi reproduksi alami pohon lontar. Pohon ini beradaptasi dengan kondisi berangin melalui struktur akarnya yang kuat, yang membantu menjaga kestabilan tanaman di tanah kering dan mencegah erosi. Adaptasi ini memastikan bahwa pohon lontar tetap kokoh dan mampu bertahan meskipun menghadapi terpaan angin yang intens di lingkungan Nusa Tenggara
Pengaruh Unsur Iklim Terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Pohon Lontar
Pohon lontar merupakan contoh tanaman yang mampu bertahan di bawah tekanan iklim kering berkat adaptasi fisiologis dan morfologis yang luar biasa. Curah hujan yang rendah dan suhu tinggi mengharuskan tanaman ini untuk menggunakan air secara efisien. Terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa lontar memiliki kemampuan menyimpan air di bagian batangnya, yang memungkinkan tanaman ini bertahan saat pasokan air di tanah sangat rendah (Arsyad, 2015). Selain itu, sistem fotosintesisnya sangat efisien dalam kondisi kekeringan. Beberapa studi mengindikasikan bahwa tanaman ini memiliki kemampuan berfotosintesis pada tingkat yang optimal bahkan di bawah tekanan suhu tinggi dan stres air
Selain itu, pohon lontar memperlihatkan adaptasi siklus pertumbuhan yang sinkron dengan pola curah hujan di wilayah Nusa Tenggara. Musim berbunga dan berbuah dari pohon ini biasanya terjadi pada musim hujan, memungkinkan lontar memanfaatkan curah hujan yang ada untuk produksi buah dan regenerasi. Adaptasi ini menunjukkan bagaimana unsur iklim sangat berperan dalam menentukan waktu pertumbuhan dan perkembangan tanaman endemik ini.
Adaptasi Pohon Lontar Terhadap Perubahan Iklim Setempat