RENT SEEKING DAN POLITIK LOKAL: STUDI KASUS JAWA BARAT DAN PERANAN DPRD JAWA BARAT
Dalam ekonomi politik, distingsi tegas teori ekonomi klasik atau neoklasik mengenai ekonomi dan politik mengandung kontradiksi. Di satu pihak teori ini tidak menginginkan adanya campur tangan negara terhadap pasar namun di sisi lain kekuatan politik sangat dibutuhkan untuk memuluskan agenda kapitalisme (Caporaso & Levine, 2015: 68-120 & 183-200). Dalam konteks ini hubungan erat berkelindan struktur ekonomi dan politik menjalar dan tidak bisa lepas dari para aktor. Perilaku politik yang menjerumus pada hubungan-hubungan politik dan bisnis tidak bisa dilepaskan dari keadaan struktur ekonomi politik.
Persoalan politik tidak bisa dilepaskan dari penetrasi berbagai kepentingan. Politik merupakan kontestasi kekuasaan yang terdiri dari berbagai individu dan golongan yang memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan. Di tingkat lokal, wacana politik tak bisa dilepaskan dengan masalah-masalah politik uang, para pencari rente, bosisme dan agenda-agenda yang menjuruskan pada interseksionalitas antara bisnis dan politik. Relasi antara bisnis dan politik merupakan suatu keniscayaan yang tak terelakan dalam sistem demokrasi dan kapitalisme, hubungan antara ekonomi dan politik.
Jawa Barat merupakan salah satu provinsi terbesar di Indonesia. Wilayah yang dulunya merupakan provinsi terbesar ini memiliki peran penting dalam politik dan perekonomian nasional. Tulisan ini menarasikan bagaimana praktik relasi bisnis dan politik terjadi dalam tingkatan lokal yaitu di Jawa Barat. Fenomena rent seeking atau pencarian rente yang menjaring aktor pemerintah dan pebisnis menjadi fokus utama dalam tulisan ini. Bagian pertama akan menguraikan konsep rent seeking dan kemudian dilanjutkan dengan pembahasan bagian kedua mengenai desentralisasi. Pada bagian ketiga atau terakhir, tulisan difokuskan untuk membahas masalah rent seeking yang terjadi di Jawa Barat.
 Rent Seeking dan Masalah Korupsi
Salah satu konsep yang kiranya cukup banyak dibahas adalah konsep rent seeking atau politik rente. Berbagai kajian mengenai politik rente menawarkan narasi bahwa fenomena ini merupakan akar munculnya praktik korupsi, politik uang dan nepotisme. Menurut Khan (2000) rent seeking merupakan aktivitas yang berupaya menciptakan, melibatkan dan mengubah tindakan-tindakan institusional untuk keperluan aktivisitas bisnis pengusaha. Dalam konteks ini, pebisnis melakukan patronase dengan aktor politik di lembaga negara untuk memberikan hak atas monopoli, lisensi dan izin-izin lainnya untuk mempertahankan keuntungan bisnis.
Terdapat tiga bentuk praktik rent seeking yang bisa dibedakan dan dianalisis menurut Roos (2001) dalam Mahpudin & Aziz (2021). Pertama yaitu rent creation yaitu kondisi di mana pebisnis mencari keuntungan yang didapatkan dari lembaga negara dengan cara menyuap aktor pemerintah atau birokrat. Kedua adalah tipe rent seizing adalah praktik ketika birokrat berusaha mendapatkan hak otoritas dari lembaga negara untuk alokasi rente kepada pebisnis demi kepentingan pribadi atau kelompoknya. Ketiga yaitu rent extraction, kondisi di mana para birokrat mencari keuntungan dari perusahaan dengan cara mengancam melalui berbagai kebijakan. Ketiga tipe rent seeking tersebut saling terkait dan menjadi tahapan fenomena rent seeking.
Masalah rent seeking merupakan akar dari muncul kasus-kasus korupsi dan nepotisme. Menurut ICW, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2022 berada di skor 34. Indonesia merupakan negara 13 negara paling korup di dunia dan di Asia Tenggara. Skor IPK Indonesia berada di bawah Singapura, Malaysia, Timor Leste, Vietnam dan Thailand (ICW, 2022). Praktik rent seeking dan korupsi yang terjadi Indonesia menjalar dari tingkat nasional hingga daerah. Terjadinya kasus suap menyuap dalam praktik korupsi telah menjerat para elite lokal atau pemerintah daerah. Sejak 2004 hingga 2022 terdapat 22 gubernur dan 148 bupati atau walikota yang terjerat kasus korupsi dan ditindak oleh KPK (ICW, 2022). Hal tersebut menunjukan bahwa praktik korupsi yang kebanyakan berakar dari relasi pebisnis dan para birokrat sangat mengakar pada tingkat kekuasaan lokal.
 Desentralisasi dan Praktik Rent Seeking Tingkat Lokal
Masalah rent seeking antara pebisnis dan birokrat pemerintah dapat kita tarik pada masa Orde Baru. Pada masa Orde Baru praktik rent seeking erat terjadi di kalangan pebisnis Tionghoa, militer dan birokrat. Suharto memiliki kroni-kroni dari lingkaran pebisnis Tionghoa begitu juga para elite politik-militer lainnya yang membentuk grup bisnisnya masing-masing. Kebijakan-kebijakan ekonomi politik era tersebut tidak hanya diarahkan untuk modernisasi pembangunan tapinya untuk menopang pemberian rente kroni elite politik Orde Baru (Robinson, 2012: 197-215; Shidiq, 2003).
Wacana pembangunan kapitalisme masa Orde Baru melahirkan para pengusaha bermodal besar pada tingkatan daerah. Runtuhnya sentralisasi dan terjadinya lokalisasi kekuasaan membuat praktik alokasi rente atau rent seizing tidak hanya dipraktekkan para elite politik namun juga elite-elte lokal yang beraliansi dengan pebisnis daerah. Fenomena terjadinya rent seeking di tingkat lokal tidak bisa dilepaskan dari apa yang disebut oleh Hadiz (2022) sebagai lokalisasi kekuasaan. Dalam tesisnya, Hadiz (2022: 26-49) berargumen bahwa terjadinya praktik rente, orang kuat, politik uang, korupsi dan politik bisnis lainnya di daerah merupakan konsekuensi demokratisasi yang diiringi dengan globalisasi ekonomi neoliberal di sisi lain. Ekspansi para global pada tingkatan lokal dan berbagai otonomi daerah atas kedaulatan sosial ekonomi memberikan otoritas kepada aktor elite politik lokal untuk membentuk patronase politik bisnis di daerah.
Hadiz memaparkan argumen-argumen empiris yang menunjukan praktik rente dan korupsi yang marak terjadi di tingkat lokal sejak desentralisasi. Fenomena rent seeking dan relasi politik bisnis biasanya terjadi pada proyek pembangunan daerah, politik elektoral dan kebijakan-kebijakan strategis ekonomi politik lokal. Aktor-aktor politik yang bermain dalam praktik rente umumnya merupakan elite politik era Orde Baru yang bertransmisi pada tingkat lokal juga kalangan reformis yang berusaha mencanangkan demokratisasi dan desentralisasi. Semntara itu, jaringan pebisnis yang terlibat dalam praktik pencarian rente merupakan pengusaha tingkat menengah dan atas yang memiliki jaringan dengan para elite politik lokal. Keadaan praktek rente di daerah ini didukung dengan adanya orang-orang kuat, preman atau bosisme yang mencoba mempertahankan dan memberikan kekuatan represif kepada yang mencoba mengganggu agenda kepentingan para elite lokal dan pebisnis (Hadiz, 2022: 141-166).
Kasus-kasus Rent Seeking di Jawa Barat
Desentralisasi atau lokalisasi kekuasaan yang memunculkan banyak praktik rente juga tidak terkecuali di Jawa Barat. Berbagai praktik pencarian rente, suap menyuap antara pebisnis dan aktor pemerintah hingga masalah korupsi banyak bermuncul. Baru-baru ini Walikota Bandung Yana Mulyana tersangka terlibat dalam praktik rente suap menyuap kasus CCTV dan jaringan internet. Yana beserta beberapa aktor pemerintah daerah Kota Bandung lainnya terlibat dalam pemberian suap dari pebisnis swasta dalam proyek Bandung Smart City. Yana diduga menerima uang sebesar 400 juta rupiah dari pihak swasta untuk memberikan akses dalam proyek tersebut. Yana memberikan alokasi rente atau rent seizing kepada pengusaha bernama Benny dan Sonny dari PT Sarana Mitra Adiguna dan PT Cipta Jelajah Informatika. Praktik rente yang dilakukan Yana sebagai sebagai Walikota Bandung menunjukan bahwa otonomi daerah mudah disalahkan gunakan untuk proyek-proyek skala kecil sekalipun (Kompas, 2022).
Beberapa tahun sebelum terjadinya kasus Yana Mulyana terjadi cukup banyak kepala daerah di Jawa Barat yang terjerat praktik rente atau suap menyuap dan tertangkap KPK. Pada 2018 Bupati Kabupaten Bekasi yaitu Neneng Hassanah menerima suap setelah memberikan rente berupa perizinan dalam proyek Meikarta di Kabupaten Bekasi. Bupati Kabupaten Bekasi tersebut dijebloskan ke penjara dan menerima denda ratusan juta akibat penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan (Detik, 2023). Proyek Meikarta merupakan salah satu proyek besar yang dicanangkan untuk pemukiman penduduk namun hingga saat ini proyek tersebut terbengkalai.
Dua kasus kepala daerah di Jawa Barat tersebut merupakan contoh yang sangat nampak dari banyaknya kasus korupsi yang terjadi. Sejak 2004 hingga 2020 kasus korupsi akibat praktik rente atau penggelapan dana di Jawa Barat merupakan rekor nasional. Kasus korupsi di Jawa Barat merupakan yang paling banyak ditangani oleh KPK yaitu sebanyak 101 kasus. Jawa Barat melampaui Jawa Timur, Sumatera Utara, Kepulauan Riau dan DKI Jakarta yang berada di bawahnya.
Good Governance dan Peranan DPRD Jawa Barat
Menjamurnya kasus pencarian rente atau rent seeking yang melibatkan aktor pemerintah daerah Jawa Barat dan pebisnis untuk berbagai proyek kepentingan harus ditindak tegas oleh berbagai lembaga daerah terutama yang memiliki otoritas menciptakan kebijakan publik. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Barat atau DPRD Jabar sudah seharus bertindak strategis dalam untuk mencegah praktik rente di Jawa Barat. Sebagai syarat Good Governance, pemerintahan yang bersih atau clean governance harus menjadi acuan bagi DPRD Jabar untuk mencegah dan menyelesaikan masalah-masalah praktik rente di Jawa Barat khususnya di kalangan aktor pemerintah daerah.
DPRD Jabar memiliki otoritas dalam pembuatan kebijakan, penganggaran dan pengawasan. Dalam konteks ini, membangun komitmen bersama dan prinsip negara yang bebas dengan korupsi harus diterapkan dalam setiap proses dan fungsionalitas DPRD. Pembuatan kebijakan daerah harus disertai upaya preventif dan solutif untuk masalah-masalah rente di kalangan aktor politik. Berbagai celah dan indikasi praktik terjadinya rent seeking dalam setiap proyek pembangunan dan kebijakan publik harus dilihat secara jeli oleh anggota dewan legislatif. Hal yang paling substansial dari DPRD dalam upaya mencegah praktik rente dan korupsi adalah mengoptimalkan fungsi pengawasan. Praktik pelaksanaan dan pelaporan dalam setiap program-program pemerintah harus diawasi secara akuntabel dan transparan untuk meminimalisir terjadi kasus praktik rente dan korupsi.
Peranan DPRD Jabar dalam menciptakan Good Governance untuk mencegah praktik rente dan korupsi di lembaga negara tingkat daerah harus diiringi dengan komitmen bersama agar sesama anggota dewan tidak terlibat korupsi. Kasus-kasus korupsi baik itu suap atau penggelapan dana di DPRD Jawa kerap terjadi. Pada 2021 lalu, Wakil Ketua DPRD Jabar non-aktif Ade Barkah dan anggota DPRD Jabar yaitu Siti Aisyah terlibat dalam kasus pemberian rente dalam proyek Bantuan Provinsi untuk wilayah Indramayu (Antara, 2021). Hal ini tentunya merupakan sebuah keniscayaan bahwa di tingkat legislatif masalah rente dan korupsi sulit untuk dihilangkan.
Beberapa tindakan strategis dan preventif DPRD Jabar untuk mencegah praktik rente di lembaga negara termasuk dalam tubuh anggota dewan sendiri juga harus dilakukan dengan koordinasi sesama lembaga negara. Pada November 2023 lalu, DPRD Jabar telah berkoordinasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK untuk melakukan sosialisasi dalam lembaga DPRD Jabar (Republika, 2023). Hal tersebut merupakan pendekatan kultural yang dapat mencegah perilaku politik para aktor dalam memberantas dan mencegah terjadinya korupsi untuk menciptakan Good Governance dan Clean Governance khususnya di tingkat daerah.
Berbagai keadaan struktural yang memudahkan peluang terjadinya praktik rente di kalangan aktor-aktor politik harus bisa ditangani dengan baik dan strategis untuk mencapai lembaga negara yang bersih. Adanya otonomi daerah pasca runtuhnya rezim Orde Baru telah memberikan akses otonomi yang kuat kepada para aktor politik lokal dan kerap disalahkan gunakan untuk menjalankan agenda rente dan kepentingan relasi politik bisnis lainnya. Kondisi semacam ini harus diselesaikan secara bersama dengan prinsip dan komitmen yang kuat untuk menciptakan pemerintahan yang bersih.
DAFTAR PUSTAKA
Antara. (2022). Dua Anggota DPRD Jabar Divonis Penjara Akibat Suap Banprov. Diakses 26 Desember 2023.
Carporaso, J.A & D.P Levine. (2015). Teori-teori Ekonomi Politik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Detik Jabar. (2023). Deretan Kepala Daerah di Jabar Terjerat Korupsi sejak 2018. Diakses 26 Desember 2023.
Hadiz, R. Vedi. (2022). Lokalisasi Kekuasaan di Indonesia Pasca Otoritarianisme. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Indonesian Corruption Watch. (2022). Annual Report 2022. Jakarta: Indonesia Corruption Watch.
Indonesian Corruption Watch. (2022). Korupsi Kepala Daerah. Diakses 26 Desember 2023.
Khan, H. Mustaq. (2000). Rent, Rent-Seeking and Economic Development. Cambridge: Cambridge University Press.
Kompas. (2023). Korupsi Bandung Smart City, Yana Mulyana Disebut Menerima Suap Rp 400 Juta. Diakses 26 Desember 2023.
Mahpudin, Aziz. (2021). Rent Seeking dan Praktik Korupsi di Tubuh BUMD: Kasus BUMD PT Banten Global Development. Jurnal Wacana Politik, 6 (1), hlm 37-48.
Mudhoffir, A.M & C.H, Pontoh. (2022). Oligarki: Teori dan Kritik. Tangerang Selatan: Marjin Kiri.
Republika. (2023). DPRD Jabar Koordinasi dengan KPK dalam Pencegahan Korupsi. Diakses 26 Desember 2023.
Robinson, Richard. (2012). Suharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia. Depok: Komunitas Bambu.
Shidiq, R. Ahmad. (2003). Decentralization and Rent Seeking in Indonesia. Ekonomi dan Keuangan Indonesia, 5 (12), hlm, 177-207.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H