Mohon tunggu...
Fadhlan Humaidy
Fadhlan Humaidy Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pengusaha Muda

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Implementasi Fiqh Muamalah di Era Digital

26 Juni 2024   23:20 Diperbarui: 26 Juni 2024   23:22 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Secara nasional, hukum di Indonesia sudah mendukung ekonomi Islam. Teknologi yang makin maju yang membuat mau tidak mau fiqh juga makin berkembang mengikuti perubahan zaman. Dapat dilihat bahwa keuangan syariah seperti perbankan syariah, asuransi, pasar modal, sukuk, bahkan wakaf uang sudah dilakukan secara online. Bahkan saat ini, bukan hanya di bidang ekonomi saja tetapi juga fashion muslim semakin berkembang baik dari segi produksi maupun konsumennya. Serta wisata Islam juga harus diatur dalam fiqh muamalah, bagaimana akad-akadnya, bagaimana prinsip-prinsipnya sehingga keuangan dalam wisata Islam ini sesuai dengan syariah.
Saat ini pengguna uang digital menjadi tren di semua kalangan. Memang pandemi Covid-19 membawa banyak sekali perubahan, salah satunya adalah tata cara bermuamalah dalam hal ekonomi. Biasanya jika ingin membeli sesuatu akan mengunjungi tempat atau toko dengan bertatap muka antara penjual dan pembeli, kali ini hampir semua transaksi ekonomi berbasis online. Seriring dengan perubahan zaman yang begitu cepat dan modern, maka aturan bermuamalah dalam Islam harus tetap berada dalam koridornya yang sesuai dengan syariah. Ini semua bertujuan agar apa yang kita lakukan dengan semua transaksi dan kegiatan melalui digital tidak keluar dari syariat Islam.
Maka dari itu, dengan fenomena yang terjadi saat ini, bagaimana kita mampu mengimplementasikan fiqh muamalah di era digital? Dan langkah-langkah apa saja agar seorang muslim dapat bermuamalah di era serba digital ini tidak keluar dari aturan syariah?
Perubahan perilaku masyarakat di era digital ini perlu diberikan opsi dalam pembayaran digital yang tentunya patuh terhadap prinsip-prinsip syariah. Serta yang menjadi rujukan mengenai uang elektronik ini adalah fatwa DSN-MUI No 116 tahun 2017 tentang uang elektronik syariah dimana terdapat dua akad yang dapat digunakan yaitu akad wadiah dan akad qardh. Di dalam akad wadiah, dana bersifat titipan sehingga dana tidak bisa digunakan oleh penerbit dan jika dana digunakan maka akan berubah menjadi qardh. Dana di dalam akad qardh boleh digunakan oleh penerbit namun harus dikembalikan kapan pun kepada pemegang uang elektronik ketika ingin digunakan. Biaya yang dikenakan hanya boleh merupakan biaya rill untuk keberlangsungan layanan uang elektronik.
Secara umum uang elaktronik sesuai dengan maqasid syariah karena uang elektronik ini diindungi dengan keamanan yang baik seperti adanya kode saat akan pembayaran yang dapat mencegah dari penyalahgunaan apabila dicuri atau hilang. Selain itu, uang elektronik ini tidak menimbulkan pengeluaran yang berlebihan, dan kehalalan uang elektronik yang sudah terpenuhi dengan terhindarnya uang elektronik dari hal-hal yang dilarang oleh syara, dengan transaksi akad yang jelas, dan telah sesuai dengan konsep uang dalam Islam sehingga kesesuaian uang elektronik dengan prinsip memelihara harta dalam terjaga dengan baik. Kemudian, kesesuain uang elektronik ini didukung dengan kemaslahatan yang terkandung dalam uang elektronik seperti kecepatan dalam transaksi, kemudahan akses, serta efektivitas dalam penggunaan uang elektronik.
Islam memandang uang elektronik yang merupakan produk dari gejala sosial yang baru, sebagai sesuatu hal yang boleh atau mubah, karena pada dasarnya asal semua hal dalam muamalah itu adalah boleh, asal tetap berada dalam koridor kebenaran menurut syara dan undang-undang. Uang elektronik hanyalah suatu bentuk baru dari uang yang senantiasa berubah. Islam pun tidak menafikan pencarian keuntungan yang diperoleh dari jasa uang elektronik, karena yang dilarang adalah upaya membeli uang dengan uang, tetapi pada uang elektronik ini si pengguna membeli jasa 'kemudahan transaksi' yang ditawarkan oleh penerbit. Sehingga penyedia jasa mendapatkan keuntungan dari jasa yang mereka jual, dan pengguna pun mendapatkan kemudahan dari penyedia layanan.
Seiring banyaknya risiko yang mengintai pelaku transaksi digital, perlu adanya regulasi dari otoritas terkait serta literasi digital yang baik dari masing-masing pihak, baik pembeli maupun penjual untuk mencegah serangkaian risiko yang dapat memengaruhi keabsahan transaksi. Jika kita masih belum atau kurang memahami suatu ilmu atau hukum, ada baiknya kita merujuk kepada Al-Qur'an, As-sunah, dan ijtihad para ulama. Di Indonesia yang dapat kita lihat salah satunya contohnya dengan adanya fatwa DSN-MUI, sehingga kita tidak salah langkah dan menafsirkan sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun