Mohon tunggu...
Fadhil Nugroho
Fadhil Nugroho Mohon Tunggu... wiraswasta -

Tukang photo, tinggal di Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mentalitas Pedagang K5 dan Macetnya Kota-Kota

27 Oktober 2011   03:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:27 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_139662" align="alignleft" width="750" caption="Seorang pedagang asongan berdesakan dengan penonton karnaval menjajakan minuman."][/caption] Kemacetan lalulintas sekarang ini sudah bukan lagi monopoli Jakarta. Jika tidak ditangani, sebentar lagi kemacetan mungkin bakal jadi ikon Indonesia. Cobalah kunjungi kota-kota yang sedang tumbuh dari mulai Bandung, Surabaya, Medan, Semarang, Yogyakarta bahkan Bali yang kesemua lalulintasnya sudah mulai padat merayap. Menjadi kota yang tidak efisien, boros waktu dan energi. Mentalitas Pedagang Kaki Lima (PKL) yang bercokol di hampir seluruh kalangan barangkali merupakan salah satu biangkeroknya. Strategi pemasaran ala PKL Dalam menjalankan aktifitas bisnisnya, PKL menjalankan salah satu strategi paling penting dalam marketing mix (bauran pemasaran) yaitu place (lokasi). Marketing mix sendiri sebetulnya adalah sebuah proses yang ditujukan untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan manusia yang terdiri dari empat kombinasi yaitu product, price, place dan promotion. Strategi place yang diterapkan oleh PKL ini mengacu pada prinsip dasar utama: berusaha sedekat mungkin dengan pelanggan. Pernahkah memperhatikan jalan umum yang anda lalui setiap hari? Adakah sejengkal tanah kosong di tepi jalan raya tanpa bangunan untuk berdagang di atasnya? Dari mulai warung indomie rebus, warung rokok, penjual buah, tukang cukur, cuci motor/mobil, warung bakso, bengkel motor, ayam goreng ala kentucky hingga supermarket dan mall, semuanya berhimpitan bersaing berusaha menjadi yang terdekat dengan pelanggan. Strategi “sedekat mungkin dengan pelanggan” ini tidak melulu dijalankan oleh PKL namun bahkan oleh hampir seluruh lapisan pengusaha dari yang paling gurem hingga konglomerat.  Taktik mereka adalah mencari “lokasi paling strategis” dimana konsumen biasanya berkumpul ataupun cuma sekedar lewat. Prinsipnya: dimana ada orang berkumpul disitu ada demand.

Bagi pedagang asongan dan PKL lokasi strategis itu bisa berarti: halte tempat orang menunggu bus, jembatan penyeberangan, perempatan atau persimpangan jalan tempat orang berganti moda transportasi, mulut-mulut pasar, hingga kerumunan orang yang mengurus SIM/STNK di Samsat. Mereka juga menelusup hingga ke dalam bis kota, kapal penyeberangan (fery), sampai di gerbong-gerbong kereta api kelas ekonomi. Kerumunan massa yang bersifat temporer seperti perpisahaan anak sekolah, perempatan lampu merah, jalan tol yang macet, hingga demo mahasiswa juga tak luput dari sasaran mereka. Jika saja masih memungkinkan mereka barangkali akan masuk ke dalam kamar sehingga saat kita terbangun barang dagangan sudah tergelar di sisi ranjang.

Bagi tukang ojek, penarik becak, supir angkot, supir taksi tempat strategi itu adalah mulut gang perumahan, gerbang mulut pasar atau mall tempat keluar masuknya pembeli hingga pintu gerbang perkantoran.

Bagi pengusaha kelas kecil dan menengah, lokasi strategis adalah perumahan, perempatan atau persimpangan, jalan ramai yang banyak dilewati manusia, perkantoran, pabrik hingga lokasi wisata. Bagaimana dengan pengusaha besar? Sebelas duabelas!  Istilah lokasi “emas”, lokasi “strategis” sudah sangat populer di kalangan mereka yang kenyataannya berupa perempatan atau persimpangan jalan, tak perduli itu berada di jantung kota atau pinggiran kota. Mereka tentu saja bersedia membayar mahal untuk lokasi strategis ini. Apa khabar Pemda yang mengeluarkan ijin? Auk ah elap!

Bagaimana dengan konsumen? Dengan perilaku seragam seluruh lapisan pengusaha ditambah birokrat yang punya mental sama, konsumen Indonesia barangkali adalah konsumen yang paling di manjakan.

Saat kita kehausan ditengah kemacetan yang kejam di jalan toll, penjual air mineral secara tiba-tiba nongol di samping pintu mobil. Saat turun dari bis kota untuk berganti angkutan yang akan membawa kita ke lokasi perumahan, kita bisa mampir sejenak untuk membeli buah, martabak, bubur ayam atau bahkan obeng, kabel, pompa sepeda dan kran air tanpa harus berjalan jauh. Tak perlu khawatir ketinggalan angkot, karena mereka persis ada di sisi kita juga. Kalau pingin ngadem sebentar bolehlah masuk ke mall yang berada disudut lain, hanya berjarak sepelempar batu saja dari tempat dimana kita turun dari bis kota.

Warga di perumahan sekarang ini juga tidak perlu menyediakan kulkas dalam ukuran besar untuk menyimpan persediaan minuman kaleng ataupun camilan ringan karena semua stok sudah tersedia di minimarket sejenis Alfamart, Indomaret dan warung-warung yang berserakan di seluruh sudut perumahan. Penghuni perumahan juga tak perlu pergi jauh jika membutuhkan sekilo semen untuk menambal bak air yang bocor karena toko material sekarang sudah berada di dalam kompleks. Kita bahkan bisa memesan semen ataupun besi hanya dengan angkat telepon dan barang akan diantar dalam jangka waktu kurang dari 10 menit. Air galon habis? Gas habis? No problemo!

Adakah yang salah dengan semua itu? Saya pasti akan dihujat orang banyak jika mengusulkan untuk menggusur PKL. Konsumen senang, pedagang senang, mau apalagi? Siapa yang perduli dengan akibat yang ditimbulkannya? Di jakarta kita menyaksikan kemacetan perempatan dekat Sarinah Thamrin yang tiap sudutnya disesaki aneka pedagang, Semanggi dengan Plaza Semangginya, Perempatan Taman Mini dengan Tamini Square-nya, Bunderan Pondok Gede dengan Mall Pondok Gede dan Hypermartnya, simpang Cibubur dengan Cibubur Junction-nya. Di bundaran Menanggal Waru Surabaya berdiri Surabaya Town Square (SUTOS), di pusat kota lama ada Tunjungan Plaza yang persis berada di perempatan jalan.  Di Bandung? Semua orang tentu sudah mahfum, semuanya membuat macet.

Dilevel yang lebih kecil dampak yang paling nyata adalah rusaknya jalan-jalan di lingkungan perumahan karena kerap dilalui truk kecil bertonase besar (baca: overload) keluar masuk kompleks mengangkut besi dan pasir.

Apa yang hilang dari keseluruhan gambaran yang sudah saya ceritakan? Yang tidak ada disitu adalah peraturan! Memang ada polisi berdiri di tiap persimpangan jalan, memang ada Lurah, Camat, Bupati Walikota dan Gubernur Kepala Daerah. Memang ada peraturan mengenai tata ruang, memang ada ketentuan IMB. Yang tidak ada hanyalah penegakan hukum. Semuanya cuma jadi simbol dan dokumen!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun