Bhuta yadnya ngarania taur muang kapujan ring tuwuh... matangnyan prihen tikang bhuta hita, aywa tan maasih-ring sarwa prani... (kutipan Agastia Parwa dan Sarasamuscaya 135).
Terjemah:
Bhuta Yadnya namanya mengembalikan unsur-unsur alam itu dengan menghormati tumbuh-tumbuhan... Oleh karena itu usahakanlah kesejahteraan alam itu (Bhuta Hita) jangan tidak menaruh belas kasihan kepada semua makhluk hidup (sarwa prani)...
Bhuta berarti unsur-unsur alam, sedangkan Yadnya artinya upacara persembahan suci yang tulus ikhlas. Merujuk pada Parisada Hindu Dharma Indonesia, Bhuta Yadnya adalah pemujaan serta persembahan suci yang tulus ikhlas ditujukan ke hadapan Bhuta Kala yang tujuannya untuk menjalin hubungan yang harmonis dengan Bhuta Kala dan memanfaatkan daya gunanya.
I Ketut Wiana dalam salah satu artikelnya juga menegaskan jika pelaksanaan Bhuta Yadnya bertujuan mengembalikan kemurnian eksistensi unsur-unsur alam yang disebut dengan Panca Mahabhuta.Â
Panca Mahabhuta yang terdiri dari akasa, bayu, teja, apah, dan perthiwi merupakan lima anasir dasar yang dijadikan penyusun alam semesta ini. Keberadaannya terstruktur dari yang paling atas dan paling halus yaitu akasa lalu turun ke bayu, teja, apah yang semakin kasar dan perthiwi di tempat terbawah dan paling kasar. Keberadaan Panca Mahabhuta ini juga tertulis dalam Taittirya Upanisad (II.1.1) dengan terjemah:
"Dari situlah Brahman, yang merupakan Diri, menghasilkan akasa. Dari akasa muncul bayu. Dari bayu lahirlah teja. Dari teja tercipta apah. Dari apah muncul perthiwi. Dari perthiwi lahir tumbuhan. Dari tumbuhan itu dihasilkan makanan. Dari makanan lahir manusia. Manusia itu adalah produk dari esensi makanan."
Dalam kaitan dengan pandemi, manusia diajak untuk berkontemplasi sejauh mana andil yang diberikan untuk menjaga semesta. Sejak memasuki masa Dwapara Yuga, kerusakan moral makin menjadi-jadi.Â
Manusia tidak lagi patuh pada ajaran Sad Pertiwi Dharyante atau enam perilaku untuk mendukung tegaknya dharma di Ibu Pertiwi. Sad Pertiwi Dharyante dinyatakan dalam Atharvaveda XII. 1.1. yaitu Satya = kebenaran, Rta = tegaknya hukum alam, Diksa = kesucian, Tapa = pengendalian hawa nafsu, brahma = doa dan Yadnya = keikhlasan berkorban demi tegaknya dharma.
Kini pilihannya ada di tangan kita. Jika pandemi ini berlalu, akankah kita masih jauh dari rasa menyayangi semesta, atau kembali asih pada alam. Sebagaimana dikatakan Agastia Parwa, bahwa salah satu cara untuk mendapat perlindungan Hyang Widhi adalah membangun kekuatan spiritual untuk menumbuhkan sikap hidup yang peduli pada upaya-upaya nyata untuk memelihara kesejahteraan alam (Bhutahita).Â
Maka selaras dengan Tri Hita Karana, manusia hendaknya kembali pada kodratnya sebagai penyeimbang antara penyembahan kepada Tuhan dan bakti pada lingkungan. Semoga kita selalu mendapat bimbingan Tuhan untuk mampu mencintai sesama dan semesta.