Sahayajnah prajah srtva puro'vaca prajapatih amena prasavisyadhvam eso vo'stu istakamadhuk (Bhagavad Gita III.10)
"Pada jaman dahulu Prajapati menciptakan manusia dengan yadnya dan bersabda: dengan ini engkau akan berkembang dan akan menjadi kamadhuk dari keinginanmu."
Bumi tengah diliputi pandemi. Corona berhasil meruntuhkan nyaris segala lini kehidupan. Aktivitas sosial mendadak terhenti. Orang-orang pun berlomba-lomba kembali pada alam.Â
Selain memburu bahan-bahan obat tradisional, pola hidup sehat dan teratur kini kian digalakkan. Sebut saja tradisi mencuci tangan dan kaki sebelum masuk rumah.
Jauh berabad lampau, kearifan lokal telah mengajarkan tata cara membersihkan diri. Patirthan (kolam suci) misalnya yang ditempatkan di depan candi atau bangunan suci. Kemudian padasan yang banyak ditemui di depan rumah masyarakat Jawa dan Betawi.Â
Padasan biasanya berwujud gentong besar yang terbuat dari tanah liat atau keramik. Air yang mengalir (banyu mili) diyakini sebagai media terbaik yang disediakan alam untuk bersuci. Tak mengherankan jika generasi terdahulu lebih senang menempatkan sumur di halaman depan ketimbang halaman belakang.
Sejatinya, kesadaran untuk kembali hidup selaras dengan alam mengingatkan kita pada filosofi Tri Hita Karana. Tri Hita Karana berasal dari bahasa Sanskerta.Â
Istilah tersebut diimplementasikan pertama kali oleh I Gusti Ketut Kaler pada tahun 1969 dalam suatu seminar tentang desa adat dalam wujud tata ruang dan tata aktivitas dalam desa adat.Â
Tri berarti tiga, Hita berarti kebahagiaan atau kemakmuran, dan Karana berarti penyebab. Secara harfiah, Tri Hita Karana dimaknai sebagai tiga penyebab kebahagiaan.Â
Kebahagiaan terwujud ketika terjalin sikap hidup yang seimbang antara berbakti kepada Sang Hyang Widi, mengabdi kepada sesama umat manusia dan menyayangi alam lingkungan berdasarkan yadnya.