Tidak pernah terbayang, dan tidak ada bayangan dalam benak saya untuk mengusung nama Indonesia dalam pergaulan di kancah internasional. Awalannya sederhana saja. Pada medio 2013, saya terkesima dengan seorang diaspora Indonesia yang mengibarkan namanya di benua biru sana. Sebelumnya saya juga pernah mendengar namanya, namun tak mencermati sepak terjangnya yang melegenda. Di negeri ini, ia dipanggil Anggun C. Sasmi.Â
Namun di luar negeri sana, ia lebih populer dengan nama depannya saja: Anggun. Malahan ada juga yang menulisnya "Angunn" atau "Anguun". Berulangkali membaca kisah titian karirnya hingga menoreh prestasi yang tidak bisa, berulangkali pula saya menggumam kagum: "Dia Indonesia! Dia bisa!"
Dari sanalah saya ingin mencoba peruntungan sepertinya. Tak muluk-muluk, minimal bisa bertemu dengan kawan dari negara-negara di Asia. Saya mulai rajin mengirimkan tulisan berbahasa Inggris yang menceritakan keindahan kultur Indonesia ke berbagai kementerian, seperti Denmark, Swedia, maupun Belanda. Kagumnya, email-email itu tidak ada yang luput dari public relationmereka. Saya seringkali mendapatkan balasan ucapan terima kasih, serta informasi seputar beasiswa yang bisa saya raih untuk belajar di negara mereka. Wow!
Sambutan ramah ini mendorong saya untuk lebih jauh menelusur seluk beluk ranah mancanegara. Gayung bersambut, saya berulangkali diminta hadir dalam seminar internasional yang dihadiri cendekiawan negeri tetangga. Rasa bangga dan terhormat saya berada di ubun-ubun ketika duduk berdiskusi bersama dengan Sita van Bemmelen, seorang dari negeri Belanda yang punya perhatian tinggi pada Indonesia. (Bagaimana saya tidak bangga? Ia memberi saya ucapan selamat ulang tahun tepat pada hari dirgahayu saya!)
Beberapa bulan kemudian tawaran datang untuk menghadiri forum Trip to Historical Site for ASEAN Unity. Saya diminta sebagai ketua delegasi Indonesia. Ini pertama kalinya saya berbicara di forum internasional. Tak cuma berdiskusi dengan sejumlah delegasi Asia Tenggara, saya juga tampil bernyanyi di hadapan tamu-tamu tersebut.Â
Dan kesan yang saya tangkap: jangan pernah ragu memulai pembicaraan dengan warga negara asing. Seburuk apapun kemampuanmu berbahasa Inggris (atau bahasa asing lainnya), mereka tetap menaruh respectyang tinggi. Dari perbincangan dengan berbagai utusan negara-negara se-Asia Tenggara itu, kami punya hubungan baik sampai hari ini. Di antara mereka ada yang berprofesi sebagai dosen Arkeologi di Silpakorn University Thailand, Kementerian Pariwisata di Kamboja, serta Kementerian Pelancongan di Malaysia. Perbincangan dengan mereka selalu saja menarik. Ada topik-topik terbaru yang bisa kami bincangkan. Pelestarian cagar budaya, adat di berbagai negara, sampai situasi politik terkini.Â
Melalui pergaulan dengan banyak rekan-rekan baru di Asia Tenggara ini setidaknya membuat saya harus membuka lebih banyak sejarah masa lampau. Sebab, di fase globalisasi seperti sekarang, kabar-kabar miring dan berita dusta mudah beredar tanpa konfirmasi. Termasuk hingar bingar saling klaim yang sempat mengemuka. Batik, misalnya. Produk intangible heritageini pernah memicu amarah bangsa saat Malaysia pernah menyebut batik berasal dari negaranya. Mungkin ini saatnya kaum muda kembali membuka catatan perjalanan bangsa dan menjadikan idiom "buku jendela dunia" tak lagi sebagai sesanti semata. Tahukah, pada tahun 1950-an, di saat batik merajai industri di Indonesia, batik mulai diekspor besar-besaran ke berbagai negara, tak terkecuali Malaysia.Â
Di negara Petronas itu, batik bukan sekadar hadir dalam wujud fisik, namun juga dalam wujud perajin. Walhasil, dalam hipotesis saya, akan muncul pula pengembangan motif dan pola yang disesuaikan dengan budaya setempat. Jangankan batik di Malaysia. Batik yang diproduksi di wilayah pesisir dan wilayah keraton juga memiliki perbedaan motif dan warna. Kisah lain, saya mengambil contoh Thailand. Ibu Praon, dosen arkeologi di sana, sempat terperanjat ketika mencermati cagar budaya peninggalan masa Hindu-Buddha di Trowulan. Menurutnya, apa yang pernah diproduksi kerajaan di Nusantara pada masanya, memiliki kesamaan dengan Thailand.Â
Dalam hal ragam hias, corak, maupun bentuk, tentu antara Indonesia dengan Thailand bisa saja memiliki kemiripan karena sama-sama mempunyai akar budaya yang sama. Itu sebab, dalam pergaulan internasional, penting untuk mengambil jarak dengan ego pribadi dan mengutamakan pengayaan wawasan.
Say Hi dengan Benua Lainnya