Mohon tunggu...
Fadhil Nugroho Adi
Fadhil Nugroho Adi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Paruh Waktu

Pembelajar, penyampai gagasan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nafas Taman Siswa di Tubuh Pendidikan Indonesia

2 Mei 2017   19:14 Diperbarui: 2 Mei 2017   19:19 549
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjelang akhir abad XIX, sejumlah reaksi keras muncul di negeri Belanda sebagaii respon atas tanam paksa (cultuurstelsel) yang berlangsung di Hindia Belanda pada 1830-1870. Van Soest, dalam Anne Booth, menulis, “pulau Jawa yang indah permai itu menyajikan suatu pemandangan tentang kesusahan dan kesengsaraan yang tiada taranya”.

Kritik keras atas cultuurstelsel dilontarkan kepada sang ratu. Anggota parlemen W.R. van Hoevel misalnya, dalam tulisan berjudul “Slaven en vrijen onder de Nederlandsche wet”, ia mengungkap kelaparan di Jawa pada tahun 1845. Selain itu tulisan Edward Douwes Dekker “Max Havelaar” yang menceritakan dengan rinci penderitaan rakyat akibat penindasan penguasa-penguasa kolonial dan bumiputera.

Tjahjono Rahardjo dalam Schouwburg Javaanse Sobokartti dan Visi Indonesia Merdeka menulis, artikel “Een Eereschuld” yang ditulis Conrad Theodor van Deventer dan tulisan-tulisan redaktur utama Samarangsche Courant, Pieter Brooshooft, membuka mata publik tentang nasib buruk bangsa bumiputera di bawah penjajahan Belanda. Ia memperkenalkan stilah “ethische politiek”  pada 1901 dalam pamflet yang ia tulis dalam harian De Locomotief, “De ethische koers in de koloniale politiek”.

Pada tahun 1901 pula, Ratu Wilhelmina menyerukan dimulainya Ethische Politiek atau Politik Etis, yang dikenal dengan slogan “irigasi, imigrasi, edukasi”. Satu hal yang luput dari kebijakan tersebut, dengan "balas budi" berupa pendidikan, maka sesungguhnya Belanda berlai ke mulut singa. Sebab, sejak dicetuskan pentingnya pendidikan bagi rakyat bumiputra, berturut-turut tumbuh kesadaran akan kebangkitan nasional. Salah satu pelopornya adalah Budi Utomo yang berdiri pada tahun 1908. Pada masa ini, pergerakan nasional melatarbelakangi sejumlah gerakan-gerakan kritis kaum bumiputra termasuk pendirian sejumlah organisasi.

Bagian penting dari pergerakan nasional Indonesia adalah pendidikan. Pendidikan berperan penting untuk menanam semangat kebangsaan di dalam jiwa para pemuda, sekaligus sebagai dasar dalam perjuangan. Banyak perkumpulan yang mencetuskan hal ini dalam programnya, seperti Budi Utomo, Syarikat Islam, Muhammadiyah, serta Studieclub dan organisasi sosial revolusioner dan non koperasi.

Pemerintah Hindia Belanda melihat pendidikan yang dicetuskan kaum bumiputra sebagai ancaman perlawanan. Maka semenjak tahun 1932 pemerintah memberlakukan pengawasan ketat terhadap "sekolah liar" (wilde scholen) dan tindakan-tindakan yang berhubungan dengan perlawanan.

Salah seorang figur yang memiliki integritas tinggi dalam memajukan pendidikan bagi kaum pribumi adalah Suwardi Suryaningrat. Ia menciptakan satu sistem pengajaran yang lahir dari kebudayaan Jawa Kuno dan Indonesia. Ia mempelajari soal-soal pedagogik di Belanda.

Suwardi Suryaningrat, yang di kemudian hari lebih dikenal dengan Ki Hajar Dewantara, ingin memalingkan orang-orang Indonesia dari pengajaran Barat yang semata-mata bersifat intelektual dan materialistia menjadi pengajaran yang bernafas kebudayaan khas Jawa dan Indonesia. Namun demikian bahan-bahan pengajaran itu disesuaikan dengan ilmu pengetahuan Barat.

Untuk mewujudkan impian tersebut, Ki Hajar mendirikan lembaga pengajaran (onderwijs-instituut) Taman Siswa pada 3 Juli 1922. Lembaga tersebut menjadi pintu masuk ilmu pengetahuan Barat yang terlebih dulu diuji dengan kebudayaan asli Indonesia. Ki Hajar tidak menghendaki asimilasi atau asosiasi, tetapi untuk memperkaya kebudayaan sendiri dengan nilai-nilai kebudayaan asing yang sudah dinasionalisasi.

logo-tamansiswa1-590877c4ff22bda233d89a99.jpg
logo-tamansiswa1-590877c4ff22bda233d89a99.jpg
Baginya, pengajaran harus meliputi dunia pikir (gedachtenwereld) dan dunia rohani (geestewereld) sendiri, dengan ajaran cinta akan kebudayaan dan bahasa sendiri, dan yang baik di dalam kebudayaan lain ditambahkan ke kebudayaan sendiri. Ki Hajar juga memandang penting pembentukan kepribadian dan perkembangan kesusilaan, kerohanian dan jasmaniah. Ia juga menolak subsidi dari pemerintah. Dia ingin bebas dalam pekerjaannya. Dia ingin rakyat Indonesia mendirikan sekolahnya sendiri.

Visi Ki Hajar ditentang oleh pemerintahan De Jonge. Pada 1 Oktober 1932 dikeluarkan ordonansi pengawasan atas pengajaran swasta yang tidak mendapat subsidi (Toezichtordonantie op het particuliere ongesubsidieerde onderwijs). Atas peraturan tersebut, kaum bumiputra melakukan perlawanan. Dukungan kepada Ki Hajar antara lain datang dari organisasi wanita ISTERI SEDAR.  Majelis Guru-guru (Onderwijsraand) Perguruan Kebangsaan Indonesia di Batavia dan Pasoendan cabang Palembang memutuskan bersikap sama seperti Taman Siswa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun