Mohon tunggu...
Fadhillah Az Zahra
Fadhillah Az Zahra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Jurnalistik Universitas Padjadjaran

Mahasiswa Jurnalistik Universitas Padjadjaran yang sedang mempelajari hal baru!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Sungai Sejernih Cermin karena Ramuan Berbahan Minim

5 Juli 2024   10:15 Diperbarui: 5 Juli 2024   10:19 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penuangan Cairan Eco Enzyme di Kolam Limbah. Foto: Instagram @ecoenzymebandung

Bandung, salah satu kota dengan penduduk terpadat di Jawa Barat. Baik warga lokal maupun pendatang dari luar kota yang dijuluki Kota Kembang ini banyak disinggahi karena udara yang sejuk, akses yang mudah dijangkau, dan banyaknya rekreasi serta tempat wisata. Namun, tidak hanya padat akan penduduk, Bandung juga padat akan sampah yang menumpuk.

Sampah menjadi persoalan elusif di Kota Bandung. Setiap tahunnya, produksi sampah di Bandung meningkat. Sumber sampah yang terkumpul adalah dari sampah makanan, sampah plastik, limbah rumah tangga, dan lainnya. Hingga Mei 2023, kongesti sampah di TPS-TPS di Kota Bandung masih berlangsung. Hal ini dikarenakan adanya kendala pengangkutan sampah menuju Tempat Pembuangan Akhir Sarimukti yang terletak di Kabupaten Bandung Barat.

Dengan sebaran sampah yang sebanyak itu di Bandung dan sekitarnya, TPS dan TPA di sekitar Bandung sangat penuh akan tumpukan sampah. Menarik jauh ke masa lampau, pernah terjadi sebuah tragedi naas yang dikenal dengan "Bandung Lautan Sampah". Kisah kelam ini terjadi karena ledakan sampah di TPA Leuwigajah pada tahun 2005, dan menewaskan 157 masyarakat sekitar. 157 jasad tersebut hanya jumlah masyarakat yang dapat ditemukan, entah kemana ratusan masyarakat lain yang tidak dapat ditemukan karena kejadian mengenaskan tersebut.

Tahun demi tahun berlalu, populasi dan mobilisasi di sekitar kota Bandung pun meningkat. Dikutip dari berita lansiran detikjabar, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Bandung memiliki catatan terkait tren melambungnya volume sampah setiap bulan Ramadhan akibat banyaknya sisa makanan.

Pada Agustus 2023 pun ditemukan bahwa penumpukan sampah di tepian jalan Kota Bandung makin parah. Dilansir dari Kompas, tumpukan sampah ini mulai menumpuk sejak pertengahan Agustus 2023 saat TPA Sarimukti terbakar. Selama hampir dua bulan, TPA yang melayani pengelolaan sampah di Bandung Raya ini tidak beroperasi maksimal. Bahkan, di pekan awal kebakaran, TPA Sarimukti ditutup dan tidak memberikan layanan sehingga sampah di kawasan aglomerasi tersebut menumpuk di berbagai titik. Kota Bandung yang memproduksi sampah lebih dari 1.200 ton sehari menjadi kelimpungan.

Mengambil pelajaran dari peristiwa penumpukan sampah ini, masyarakat Bandung mulai memeras otak agar sampah, terutama limbah rumah tangga agar tidak menumpuk dan merugikan masyarakat. Lalu, kami menemukan salah satu penyelamat bagi kongesti sampah ini.

Eco Enzyme Bandung menjadi salah satu malaikat tak bersayap bagi masyarakat Bandung yang sudah berdiri sejak Januari 2020. Eco Enzyme Bandung merupakan sebuah komunitas, kumpulan, serta wadah bagi para relawan dan pegiat eco enzyme yang sedang belajar dan membuat eco enzyme.

Mengenal Eco Enzyme Lebih Dalam
Semenjak pandemi COVID-19 melanda, warga Indonesia memiliki kebiasaan menjaga kebersihan lebih ketat, termasuk dalam mengolah limbah organik rumah tangga. Terdapat banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengolah limbah organik menjadi lebih bermanfaat seperti dijadikan kompos dan biodigester.

Alternatif lainnya adalah mengolahnya menjadi eco enzyme. Eco enzyme pertama kali ditemukan di Thailand pada tahun 1980-an oleh Dr. Rosukon Poompanvong, yang juga merupakan pendiri Asosiasi Pertanian Organik Thailand. Penemuan Dr. Rosukon yang cemerlang ini berawal dari komitmen dan dedikasinya untuk membantu sesama penyintas masalah kesehatan---karena ia sendiri menderita kelainan darah.

Apabila pembuatan kompos tersegmentasi karena menggunakan bahan tambahan EM4 yang biasa digunakan sebagai pupuk, dan pembuatan biodigester membutuhkan biaya lebih, hal tersebut tidak berlaku untuk eco enzyme. Karena, bahan-bahan eco-enzyme dapat ditemukan di sebagian besar rumah tangga. Produk akhir eco enzyme adalah cairan zat organik hasil fermentasi kecoklatan dengan aroma masam. Pembuatannya pun mudah, dengan perbandingan 1:3:10, berbahan dasar limbah organik (sayuran atau buah), gula merah (dapat diganti gula pasir) sebagai sumber karbon, dan air bersih yang bahkan bisa bersumber dari air hujan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun