Beberapa orang mengenal saya orang yang pendiam, untuk beberapa yang lain saya dikenal cerewet. Sebagian orang mengenal mengenal saya si keras kepala, beberapa yang lain memberi label si lembut. Beberapa orang menilai saya cuek, sementara sebagian yang lainnya nyaman bercerita, menyandarkan kepala di pundak saya. Pada beberapa orang saya di kenal tak acuh, tapi beberapa yang lain mengaku senang saya perhatikan bahkan sampai hal kecilnya. -- rarafgni on instagram.
Ada juga yang merasa tak penting menyapa jika berpapasan, tapi beberapa yang lainnya tanpa segan merangkul saya saat tak sengaja bertemu. Sebagian orang punya penilaian sendiri-sendiri lalu pergi tanpa pamit, ada juga yang mendengar dari cerita orang lain, tapi merasa seperti sangat mengenali. Dan sisanya tetap tinggal meski seringkali dibuat kecewa dengan segala kekurangan yang diberikan dari waktu ke waktu, tetap mendampingi tanpa peduli seberapa menyebalkannya saya.
Ya, penafsiran orang lain terhadap kita memang bisa sampai serupa-rupa itu. Terserah mereka saja, kita tidak harus membela atau menunjukkan. Dicintai dan dibenci adalah dua hal yang pasti kita miliki. Dia yang benci tak akan mau mendengar, dan dia yang cinta bahkan tak peduli. Penilaian manusia bukan segalanya, cukup penilaian tuhan saja yang mempengaruhi langkah kita. Sebab, manusia digolongkan dihadapan Tuhan berdasarkan tingkat keimanan dan ketaqwaannya, bukan berdasarkan derajat dan kasta buatan manusia.
Saat ini kita tengah dikotak-kotakan oleh sebuah doktrin-doktrin buatan manusia. Tinggi dan rendahnya derajat seseorang didasarkan pada penggolongannya dalam masyarakat. Apakah ia seorang bangsawan, apakah ia orang yang kaya, hitam atau putih, pintar atau bodoh, dan lain sebagainya. Padahal sejatinya kita adalah sama, makhluk yang melayani Tuhan Yang Maha Sempurna.
Kesenjangan sosial yang begitu curam diciptakan dari sistem sosial semacam ini. Pemikiran yang sudah tersetting sedemikan rupa, turun temurun dan tak ada yang bisa mengubahnya. Tidak ada yang salah, karena hal ini sudah ada sejak kita belum ada. Hukum alam yang mau tidak mau harus kita terima keberadaannya. Mungkin hanya segelintir orang yang sadar bahwa penilaian di Mata Tuhan tak lagi tentang hitam, putih, atau belang-belang.
Segala sesuatu yang berhubungan dengan manusia itu memang bersifat relatif. Pembenaran manusia itu relatif, hanya kebenaran dari Tuhan yang bersifat mutlak. Jika ada mereka yang berpikir buruk tentang kita, sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Anggap saja sebagai sebuah peringatan gratis, kita hanya harus memperbaiki diri. Tapi jangan membuat diri terlalu terpaku dengan penilaian mereka, karena mereka akan selalu mencari celah buruk terhadap diri kita. Jangan sampai kita bertingkah seolah-olah baik hanya demi menerima pandangan baik dari mereka, jangan! Biarkan mereka dengan kekonyolannya yang memandang orang lain hanya dari sisi negatifnya saja.
Ambil yang baik dan buang yang buruk. Ya, itulah yang seharusnya kita lakukan agar tak terlalu tersakiti oleh 'Apa yang mereka katakan.' Manusia adalah makhluk sosial yang tidak lepas dari omongan orang lain. Bersyukurlah, karena masih ada yang peduli dengan kesalah-kesalahn kita. ”Jadilah bagian dari mereka yang mampu mengambil hikmah dari segala peristiwa”
Berharap dunia mengembalikan investasi perasaan, waktu, serta tenaga yang kita tanamkan ke orang lain atau kegiatan yang spesifik yang lain, sering kali kita di buat kecewa karena buah hasilnya tidak manis. Mungkin selama ini semesta telah membayar balik ke masing-masing manusia, hanya saja dalam bentuk dan wujud yang tidak kita sadari, karena sibuk mencari pembenaran yang lain. terekam dalam memori, tersimpan di depan mata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H