Polusi udara merupakan kondisi ketika atmosfer tercemar atau terkontaminasi oleh zat-zat kimia atau partikel-partikel yang dapat membahayakan kesehatan manusia, hewan, tumbuhan, dan merusak lingkungan.
Lalu, bagaimana perjalanan kualitas udara di Jakarta?
Kualitas udara pada Jakarta dinilai "baik" selama 40 hari pada tahun 2017 kemudian terlihat menurun pada tahun berikutnya yang hanya memiliki 25 hari berkualitas "baik". Berlanjut pada tahun 2019, kualitas udara menurun sebesar 50% dari tahun sebelumnya. Sedangkan pada tahun 2020 hingga sekarang kualitas udara Jakarta semakin memburuk. Sampah dan limbah, emisi kendaraan bermotor, aktivitas pabrik, industri serta konstruksi menjadi faktor penyebab polusi udara. Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian LHK, Sigit Reliantoro menyebutkan bahwa penyumbang emisi terbanyak di Indonesia yaitu sektor transportasi. Fakta soal kontribusi sektor transportasi didukung dengan jumlah total kendaraan di Jakarta yang terus meningkat, dengan laju kenaikan angka sepeda motor mencapai 4,9 persen, sementara mobil penumpang naik 7,1 persen per tahun. Sementara, jumlah mobil beban naik 5,3 persen dan mobil bus 4,7 persen. Dengan laju kenaikan itu, berdasarkan data 2020, jumlah kendaraan bermotor di DKI mencapai 20,22 juta unit.
Dampak yang ditimbulkan dari polusi udara tak hanya melulu tentang kesehatan tetapi juga berdampak pada lingkungan dan ekonomi. Menurut pengurus pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), polusi udara berupa partikel renik yang masuk ke dalam saluran pernapasan dapat merusak mekanisme pertahanan tubuh sehingga kuman akan lebih mudah menyerang. Selain itu, terdapat dampak pendek dan panjang dari polusi udara ini. Jangka pendeknya yaitu gangguan pernapasan hingga menyebabkan pneumonia yang berujung pada asma. Jika tidak tertangani dengan baik, jangka panjangnya bisa berpengaruh pada persoalan tumbuh kembang anak, seperti tengkes (stunting), gangguan kecerdasan, gangguan mental, gangguan motorik, dan gangguan tingkah laku.
Dampak polusi udara terhadap lingkungan yaitu dapat merusak tanaman, hutan, dan ekosistem air, mengancam keanekaragaman hayati, serta produktivitas pertanian. Selanjutnya, Â terdapat dampak terhadap ekonomi seperti biaya kesehatan, pengurangan produktivitas pekerja, perawatan lingkungan, dampak terhadap perdagangan, dan pariwisata.
Untuk itu, pemerintah memiliki tanggung jawab dalam membuat kebijakan untuk mencegah maupun mengatasi polusi udara di Jakarta. Hal tersebut dapat tercapai apabila terdapat dukungan dan kontribusi dari masyarakat serta pihak yang terkait seperti bagian industri dan konstruksi.Â
Banyak solusi yang diberikan pemerintah untuk menekan polusi udara di Jakarta salah satunya yaitu hybrid working. Kebijakan ini menimbulkan pro dan kontra bagi masyarakat. Menurut pihak yang mendukung hal ini efektif untuk menekan polusi udara di Jakarta karena realitanya saat wabah Covid-19 kemarin dilakukan hybrid working atau work from home, kualitas udara di Jakarta membaik. Selain itu, dengan cara ini dapat dilakukan uji coba terkait sumber mana yang menjadikan polusi udara di Jakarta memburuk, apakah dari emisi karbon, industri, dan lain sebagainya.
Namun sebaliknya, bagi pihak yang menentang keputusan itu menganggap usaha penekanan polusi udara dengan hybrid working hanyalah hal yang sia-sia, karena industri masih berjalan, konsumsi listrik meningkat, intensitas pemakaian kendaraan bermotor yang tetap, serta pembatasan kerja juga akan berpengaruh terhadap efektifitas pelayanan masyarakat, di mana pelayanan masyarakat yang biasanya dapat dilaksanakan 100% akan berkurang karena adanya pembatasan kerja dengan sistem hybrid working dan masih banyak hal lainnya yang dapat terpengaruh sehingga akan timbul masalah baru di kehidupan masyarakat di luar hal polusi udara, seperti pelayanan dan kebutuhan masyarakat, contohnya dalam hal birokrasi.
Selain solusi hybrid working tersebut, terdapat satu solusi lain yang digadang-gadang menjadi salah satu solusi untuk polusi udara di Jakarta, yaitu dengan pemindahan Ibukota Negara ke pulau Kalimantan. Banyak yang menganggap solusi tersebut sangat tepat, karena kondisi Kota Jakarta yang kian hari kian memburuk, tidak hanya kualitas udara namun juga kondisi geografisnya yang semakin mengkhawatirkan seperti tinggi daratan yang selalu berkurang sehingga tinggi lautan lebih tinggi daripada daratannya. Selain itu, pemindahan Ibukota ke Pulau Kalimantan dapat menjadi solusi yang efektif untuk mengurangi masalah polusi udara, tetapi dengan catatan bahwa kebijakan yang ditetapkan untuk pengurangan masalah polusi udara tetap diterapkan, seperti melakukan pengendalian polusi di bidang transportasi, membatasi aktivitas fisik berat, memberikan sosialisasi penanganan sampah yang tepat, membuka lahan terbuka hijau, kampanye kesadaran lingkungan, dan inovasi teknologi.
Dan diluar pihak yang pro atau mendukung keputusan tersebut, terdapat juga pihak yang kontra terhadap keputusan tersebut. Pihak kontra menganggap bahwa pemindahan Ibukota Negara hanyalah pemindahan pemerintahan dan bukan pemindahan gedung-gedung industri yang menyebabkan polusi udara sehingga hal itu kurang efektif untuk menangani masalah polusi udara. Selain pendapat tersebut, ada beberapa  pendapat lain dari pihak kontra yang menyatakan bahwa pemindahan Ibukota akan menimbulkan masalah baru di Pulau Kalimantan, karena Pulau Kalimantan yang dikenal dengan daerah hijau akan berubah menjadi daerah industri yang tentunya akan meningkatkan polusi udara di wilayah tersebut. Dan pemindahan Ibukota ini tidak akan efektif mencegah polusi udara tanpa adanya perubahan behaviour semua elemen, di mana perubahan behaviour yang berjalan sedikit demi sedikit lebih baik dibandingkan hanya diam saja. Tidak hanya dengan diskusi namun output dan aksi nyata.