Mohon tunggu...
Fadhilah Putri Sahda
Fadhilah Putri Sahda Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Diponegoro

Hallo welcome to my channel

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno Pilihan

Thrifting, Is it Good for The Environment?

20 Mei 2023   21:13 Diperbarui: 20 Mei 2023   21:21 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Thrifting adalah kehati-hatian dalam membelanjakan uang dan menghindari menghasilkan limbah. Dengan begitu, kita dapat menghemat dan menghindari pemborosan. Saat ini, istilah thrifting lebih populer diartikan masyarakat sebagai belanja pakaian bekas. Toko yang menjual produk thrifting ini disebut thrift store atau thrift shop.

Pada tahun 2017, riset dari YouGov Omnibus mengungkapkan dalam satu tahun terakhir, bahwa dua pertiga orang dewasa (66%) di Indonesia membuang pakaian dan seperempat (25%) telah membuang lebih dari sepuluh item pakaian sehingga sudah terlalu banyak limbah produk fashion di dunia yang dapat mencemari lingkungan. Untuk mengatasi hal tersebut, banyak aktivis lingkungan mengajak masyarakat untuk belanja pakaian bekas melalui thrift shop. Ajakan ini ditujukan untuk pakaian bekas di dalam negeri apabila tidak terjual di pasaran.

Di Indonesia, aktivitas thrifting sebagian besar adalah menjual pakaian atau produk fashion bekas impor dari luar negeri. Kegiatan thrifting ini seringkali dilakukan sebagai trend dan gaya hidup. Para remaja di Indonesia juga menganggap pakaian bekas impor lebih berkualitas, bermerek, dan stylish sehingga kegiatan thrifting dapat menciptakan industri baru. Namun, tahukah kalian bahwa ternyata thritfting itu bukan hanya menguntungkan bagi masyarakat saja loh melainkan dapat merugikan bagi lingkungan seperti menambah beban sampah di dalam negeri.

Karena thrifting ini termasuk barang bekas dan ilegal maka terdapat isu bahwa di Indonesia sendiri dilarang untuk melakukan kegiatan ini. Peraturan tentang pelarangan impor pakaian bekas yakni Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M/DAG/PER/2/2015 serta Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Barang Bekas Elektronik dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Jadi, maksud dari Undang-Undang tersebut yaitu yang dilarang adalah kegiatan impor barang bekas yang menyebabkan sampah bukan kegiatan thrifting.

Pemerintah harus lebih tegas dengan menyeleksi mana pakaian yang layak dijual kepada khalayak umum sehingga jika terdapat pakaian yang tidak layak dapat dikembalikan lagi ke pengedarnya. Jika kegiatan thrifting dilarang belum tentu menguntungkan bagi lingkungan secara signifikan karena masih terdapat fast fashion. Fast fashion merupakan produksi yang dilakukan pihak industri dengan mengikuti perkembangan trend, menggunakan bahan baku yang berkualitas rendah, dan berfokus pada kecepatan produksi serta penjualannya.

 Sebenarnya, salah satu permasalahan dalam dunia thrift ini yaitu produsen menjual produknya dengan harga yang mahal seperti dengan harga barang baru, maka dari itu pemerintah sebaiknya dapat bernegosiasi mengenai hal ini agar dapat membantu produsen lokal dalam dunia fashion tidak terancam karena adanya thrifting. Selain itu, kegiatan thrifting maupun produksi baru juga berdampak pada lingkungan karena dapat menambah beban sampah yang akan menghasilkan limbah baru setiap harinya.

Di lihat dari proses impornya sudah menimbulkan polusi. Kebanyakan kegiatan impor ini menggunakan kapal uap yang di mana dapat mencemari lingkungan sehingga menimbulkan polusi. Tetapi disisi lain, produksi pakaian baru juga pastinya meninggalkan sisa-sisa kain yang akan dibuang dan dari bahan kimianya juga dapat menimbulkan polusi. Dalam pengelolaannya, produksi pakaian baru dinilai bahwa sampah limbahnya akan lebih terkontrol dibandingkan impor pakaian bekas dari luar negeri. Alasan produksi pakaian baru dinilai lebih terkontrol yaitu proses masuknya pakaian bekas yang ilegal dinilai tidak mempunyai prosedur khusus dalam memproduksi dan mengelola kuantitas produk.

Tetapi ditilik dari sisi ekonomi, thrifting akan lebih menguntungkan dibanding produksi pakaian baru dikarenakan produsen harus memulai dari awal seperti memilih bahan, membuat pakaian, kemasan, dan pemasaran. Berbeda dengan thrifting yang hanya impor pakaian bekas dan dijual sesuai harga pasaran atau lebih murah. Banyak pro dan kontra dari kegiatan thrifting ini terutama bagi lingkungan dan ekonomi.

Misalkan, jika kegiatan thrifting dilarang apakah akan berdampak signifikan dengan melihat data penambahan sampah di setiap tahunnya yang masuk ke TPA. Begitu pula sebaliknya, produksi pakaian baru juga perlu didukung untuk meningkatkan perekonomian di Indonesia sendiri, sebagaimana kita menghargai produk lokal dengan kualitas terbaiknya dan lebih ramah lingkungan karena jika terdapat produk yang belum terjual dapat ditingkatkan kembali strategi marketingnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun