Desa Randegan di Sidoarjo memiliki keunikan yang menarik perhatian banyak orang, yaitu larangan menjual nasi. Hingga saat ini, tidak ada satu pun pedagang di desa ini yang berani menjajakan makanan berbahan dasar nasi, baik itu nasi goreng, nasi soto, maupun nasi campur. Kepercayaan ini telah menjadi bagian dari budaya masyarakat setempat dan diwariskan secara turun-temurun.
Larangan berjualan nasi di Desa Randegan dihapus dari cerita sejarah yang melibatkan tokoh legendaris bernama Suryo Wiryo Diharjo, yang akrab dipanggil Mbah Sosro. Menurut cerita yang disampaikan oleh Suyadhim, juru kunci makam Mbah Sosro, ia adalah sosok yang pertama kali membabat alas di desa tersebut. Diceritakan bahwa Mbah Sosro tidak rela jika warga desa bekerja sebagai penjual nasi, karena pada masa itu menjadi penjual nasi dianggap sangat sulit dan penuh kesedihan.
Masyarakat Randegan meyakini bahwa jika ada warga yang menjual nasi, maka mereka akan mengalami sial dalam hidupnya. Banyak cerita yang beredar mengenai orang-orang yang melewati larangan ini dan mengalami musikbah. Misalnya, pada tahun 2002, seorang pendatang yang berjualan nasi goreng mengalami kebakaran di gerobaknya hanya beberapa hari setelah membuka usaha 3. Kejadian-kejadian semacam ini semakin memperkuat keyakinan warga bahwa celana tersebut harus dihormati.
Larangan ini tidak hanya berdampak pada kehidupan sosial masyarakat, tetapi juga pada perekonomian desa. Warga Randegan cenderung memilih untuk berdagang makanan lain seperti lontong atau mie, dan menghindari penjualan nasi. Hal ini menciptakan keunikan tersendiri bagi desa tersebut, di mana para pedagang berinovasi dengan menjual berbagai jenis makanan non-nasi. Meskipun demikian, ada juga kekhawatiran bahwa larangan ini dapat mengurangi peluang ekonomi bagi warga desa
Mitos dan celana tangan ini tetap dipatuhi oleh generasi muda meskipun mereka sering kali merasa penasaran dengan alasan di baliknya. Banyak dari mereka yang mendengar cerita ini dari nenek moyang mereka dan merasa terikat untuk menghormatinya.Â
Tokoh masyarakat seperti M Ghufron menegaskan bahwa larangan ini telah ada sejak lama dan merupakan bagian dari identitas budaya Desa Randegan. Selain itu, ada mitos yang tak kalah menarik di desa Randegan yaitu mitos larangan menikah antara warga Desa Randegan dan Desa Jiken, yang terletak di Kecamatan Tulangan. Mitos ini dihapus dari sejarah konflik antara kedua desa yang melibatkan penemuan sesosok mayat dan pelestarian tanah. Mitos ini bermula ketika ditemukan mayat tanpa identitas di wilayah yang diperebutkan antara kedua desa. Warga Desa Jiken mengklaim bahwa jenazah tersebut berasal dari desa mereka, namun mereka meminta hak atas tanah seluas tujuh hektare yang ditempati jenazah itu sebagai syarat pengakuan. Permintaan ini menimbulkan kemarahan warga Randegan, yang kemudian bersumpah untuk melarang keturunan mereka menikah dengan warga Jiken. Sumpah ini diyakini dapat mendatangkan kutukan jika dilanggar, sehingga banyak orang tua di Randegan menanamkan kepercayaan ini kepada anak- anak mereka.
Mitos ini telah menjadi bagian dari norma sosial di Desa Randegan, meskipun seiring berjalannya waktu, beberapa generasi muda mulai melanggar larangan tersebut. Pada tahun 2010, ada beberapa pasangan dari kedua desa yang menikah meskipun mengetahui adanya larangan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun mitos masih dipercaya, pengaruh modernisasi dan perubahan sosial mulai mengubah cara pandang terhadap tradisi ini.
Mitos yang ada di Desa Randegan mencerminkan kompleksitas hubungan sosial dan sejarah antara masyarakatnya. Larangan yang dikawinkan antara warga Randegan dan Jiken serta larangan menjual nasi bukan sekadar sekadar cerita, namun merupakan bagian dari identitas budaya yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Meskipun tantangan modernisasi mengancam keberlangsungan mitos ini, penting bagi masyarakat untuk terus merayakan dan menghormati tradisi mereka sebagai upaya menjaga warisan budaya yang kaya. Dengan demikian, mitos tidak hanya menjadi pengingat akan masa lalu tetapi juga berfungsi sebagai jembatan menuju masa depan yang lebih harmonis bagi masyarakat desa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H