Mohon tunggu...
Siti Fadhila Zanaria
Siti Fadhila Zanaria Mohon Tunggu... -

saya ingin menjadi pelukis sekaligus penulis lewat puisi

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Legenda Senja

3 Januari 2015   02:20 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:56 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Dalam mati yang paling sakit sebab takdir yang ditulis dengan darahku dan darahmu di biru langit sembab mengharuskan kita untuk dihukum : dewi dan manusia tidak boleh saling cinta.

Aku bunuh diri. dan air matamu berhari-hari mengerat denyut nadi, hingga kita kembali berjumpa dalam sebuah reinkarnasi.

Aku terlahir sebagai jaksa. Dan kau perempuan malang yang nelangsa. Kau mencuri buah khuldi sebiji. Dalihmu kau ingin bertemu adam dan tak punya uang buat membeli. Alasan yang sungguh lirih. Tapi, aku jaksa. Tugasku memenggal kepala orang yang tak punya tahta. Kau mati, aku tak peduli.

Setahun kemudian aku bunuh diri akibat malu ketahuan korupsi. Dan kita kembali berjumpa dalam sebuah reinkarnasi.

Aku remaja muda jatuh cinta pada perempuan cantik paruh baya, kau. Tapi, kau ibuku. Takdir lagi-lagi bertingkah mengutuk kau jadi patung Maryam. Aku pendosa yang dendam pada perempuan dan memecahkan semua berhala.

Selanjutnya kita makin rakus memangsa tanpa menengok dahulu di dada pernah kita tanam benih yang tumbuh jadi tangan-tangan sulur, mengikat-kait kita erat. Sekarang aku entah, kau di mana. Suatu hari aku sadar kau kembali sebagai bunga ungu peragu, aku rupanya musim salju sekaligus malaikat mautmu.

Satu yang kutunggu-tunggu ; kau menjadi langit, aku segumpal awan dan seterusnyahujan penuh sepanjang musim, sampai di bumi tumbang dan sumbang segala rezim.

Tapi, takdir bukan takdir jika pandir!

Paling tidak, untuk terakhir kali kau adalah matahari. Aku laut buas yang tak pernah puas menelanmu berhari-hari. Saat waktu sore jendela jadi saksi ; langit biru berwarna merah keungu-unguan. Persis warna darahku bercampur darahmu yang tumpah di atas langit sebagai sebuah janji yang ganjil perihal aku dan kau adalah selamanya lembayung yang oleh sepasang kekasih dijadikan sebuah payung. Senja? Ya, itu kita.

Dalam senja termaktub kalimat dakwa yang mengharuskan aku dan kau dieksekusi dalam mati yang paling sakit : dewi dan manusia tidak boleh saling cinta.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun