Mohon tunggu...
Moh. Fadhil
Moh. Fadhil Mohon Tunggu... Dosen - Dosen IAIN Pontianak

Lecturer - Mengaji dan mengkaji hakekat kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Penghinaan terhadap Presiden dalam RKUHP: Antara Inkonstitusional dan Terminologi Simbol Negara

21 Desember 2016   07:01 Diperbarui: 21 Desember 2016   08:33 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

People should not be afraid of their governments. Governments should be afraid of their people – V (V for Vendetta – 2015)

RKUHP yang kini tengah di godok oleh pemerintah bersama-sama dengan DPR RI telah memasuki babak baru dalam pembentukannya. Berbagai masukan-masukan hingga perdebatan-perdebatan mewarnai pembahasan substansi terutama buku II RKUHP, salah satunya ialah pada pasal penghinaan terhadap martabat Presiden. Saya teringat dengan salah satu wawancara yang dilakukan sekitar agustus tahun lalu terhadap Presiden. Beliau menjawabnya secara diplomatis bahwa memang pemerintah memasukkan pasal tersebut, namun layak atau tidak untuk dikriminalisasi bergantung pada keputusan di Dewan (CNN Indonesia, agustus 2015).

Perlu di runut bahwa bukan pemerintahan Presiden yang sekarang yang pertama kali mengusulkan, melainkan usulan tersebut adalah warisan dari pemerintahan sebelumnya. Saat di wawancarai oleh awak media, beliau menganggap bahwa Presiden merupakan bagian dari Simbol Negara (Symbol of the State) merunut kepada banyak Negara yang menjadikan Presiden sebagai Simbol Negara (Detik.com, Agustus 2015). Pernyataan beliau memang ada benarnya mengingat sebagai kepala pemerintahan menuntut fokus yang besar terhadap segala macam visi misi yang sedang di jalankannya sekaligus memperkokoh fondasi politik nya sebagai kepala Negara, namun hal tersebut akan menemui tembok yang kokoh baik dari segi kategorisasi presiden sebagai simbol Negara maupun dari sisi sejarah, sosial, hukum dan budaya masyarakat Indonesia memahami konteks penghinaan tersebut. (Selengkapnya isi pasal tersebut tercantum di bagian akhir tulisan ini).

Menengok Putusan MK Tahun 2006

Penghinaan terhadap presiden secara historis bukan untuk kepentingan presiden, namun dikriminalisasi guna kepentingan melindungi martabat keluarga kerajaan Belanda (lese majeste). Selain itu terdapat juga pasal-pasal yang menyebar kebencian  atau penghinaan terhadap pemerintahan (hatzaai artikelen) yang terdapat di dalam WvS. Kemudian mendapatkan tempat tersendiri bagi eksistensi kekuasaan kepresidenan atau pemerintahan di dalam KUHP Indonesia, namun eksistensinya harus berakhir dalam ketukan palu 9 Hakim Mahkamah Konstitusi lewat Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006. Jika di tengok kebelakan yang menjadi ratio legispara Hakim Konstitusi adalah pasal penghinaan terhadap presiden merupakan warisan kolonial yang tidak sesuai dengan peradaban demokrasi di Indonesia.

Tujuan lahirnya aturan tersebut secara historis adalah demi kepentingan Ratu Belanda saat menjajah Indonesia, artinya demi kepentingan kolonial sehingga aturan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai peradaban bangsa yang anti kolonialisme sesuai dengan amanat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 dan nilai-nilai bangsa yang tertuang sebagai konstitusi tidak tertulis. Konsekuensi dari putusan MK menurut pakar Tata Negara Irmanputra Sidin bahwa putusan MK adalah konstitusi yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Antara putusan MK dengan UUD NRI Tahun 1945 memiliki derajat yang sama sehingga hukum yang tercipta dari putusan MK menjadi konstitusi yang tidak dapat di ganggu gugat lagi mengingat putusan MK yang sifatnya final dan mengikat.

Presiden adalah Simbol Negara, benarkah?

Seperti pernyataan Presiden Jokowi di atas bahwa Negara-negara di dunia mengakui Kepala Negara sebagai bagian dari Simbol Negara, bagaimana dengan di Indonesia? Irmanputra Sidinmenjelaskan bahwa simbol Negara di atur secara limitatif dalam BAB XV UUD NRI Tahun 1945 di mana pasal 35 sampai pasal 36B menyebutkan bendera Sang Merah Putih, Bahasa Indonesia, Garuda Pancasila, Semboyan Bhinneka Tunggal Ika, dan lagu kebangsaan Indonesia Raya sebagai Simbol Negara. Kemudian lebih lanjut di atur dalam UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Sedangkan presiden atau wakil presiden tidak disebutkan dalam konstitusi sebagai bagian dari simbol Negara. 

Lebih lanjut menurut Irmanputra Sidinbahwa bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan sebagai sarana pemersatu, identitas, dan wujud eksistensi bangsa yang menjadi simbol kedaulatan dan kehormatan Negara sehingga tujuan pengaturannya untuk menjaga kehormatan dan menegakkan kedaulatan bangsa dan NKRI. Maka penyalahgunaan maupun tindak pidana terhadap simbol-simbol Negara termasuk dalam bagian dari delik biasa bukan delik aduan seperti penghinaan pada umumnya. Sedangkan presiden dan wakil presiden bisa berganti artinya mereka temporer tetapi bendera, bahasa, lambang negara, serta lagu kebangsaan tidak akan pernah berganti.

Selain itu pakar komunikasi politik Effendi Ghazalimengemukakan tiga teori tentang pemaknaan dari Symbol of the State, yaitu

  1. Bermakna Lambang Negara, dalam hal ini Lambang Negara Indonesia secara jelas dalam konstitusi di atas adalah Garuda Pancasila, sehingga presiden bukanlah lambang Negara;
  2. Bermakna Simbol, dalam hal ini jika presiden ialah simbol Negara maka seolah-olah akan mengkultuskan presiden dalam tataran yang transendental karena simbol berarti identitas suatu bangsa yang tak pernah pudar sifatnya sedangkan presiden hanyalah jabatan yang sifatnya temporer yang secara kedudukan tidaklah berubah namun sifat pemakaiannya dapat berubah tergantung dari siapa yang memegang jabatan tersebut;
  3. Bermakna tanda, hal ini diibaratkan seperti rambu-rambu lalu lintas, tanda silang P bermakna dilarang parker, tanda silang S bermakna dilarang berhenti sehingga presiden bermakna kepala Negara atau kepala pemerintahan tergantung dari kewenangan atributif yang di berikan oleh konstitusi;

Fadly Zon mengungkapkan bahwa pasal penghinaan terhadap presiden berpotensi menjadi pasal karet. Memang ada benarnya ada yang di ungkapkan oleh pimpinan DPR tersebut. Jika pasal tersebut terakomodir maka di masa mendatang kita akan sering melihat pemandangan para rakyat, mahasiswa dan elemen lainnya begitu mudah di tangkap mengingat secara hermeneutika akan pemaknaan penghinaan terhadap presiden bernilai fleksibel, abstraktif, dan bisa jadi mengakibatkan dikotomi pemaknaan baik secara restriktif maupun ekstensif antara penghinaan terhadap presiden itu sendiri dengan kritikan yang di berikan ke padanya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun