Tahun 2016 menjadi tahun yang begitu fenomenal bagi perkembangan hukum di mata masyarakat. Kasus kematian Mirna seolah membuka mata publik (awam) untuk setidaknya memaksa diri mereka melek terhadap hukum, hal yang mungkin bagi mereka dianggap tabu. Rasa penasaran publik yang menjadi-jadi ditangkap oleh media untuk menyiarkan suatu drama minus skenario. Alhasil kegiatan di pengadilan terlihat begitu vulgar tidak hanya dialog dari para trias judicata,tidak pula visualisasi pertaruhan para catur wangsa di ruang keadilan itu, melainkan sampai pada mencitra wajah terdakwa dan pihak-pihak terkait di dalamnya. Kasus Jessica yang menguras emosi publik, para pengamat yang mendikte dan silih berganti meramaikan televisi sukses menciptakan tiga kubu di dalam masyarakat. Pertama,kubu yang bahkan sejak awal sudah menghakimi dan berpihak kepada jaksa selaku protagonis. Kedua, kubu yang meyakini Jessica hanyalah korban keadaan yang tak berpihak, kubu yang berusaha mengangkat terdakwa dari posisi antagonis. Ketiga,kubu abu-abu yang apatis, atau mungkin memandang secara elastis yang menggantungkan diri pada putusan akhir. Kini setelah kasus Jessica (season 1) berakhir sementara (to be continued), publik bersiap pada tontonan baru yang tak kalah melejit, yaitu kasus penistaan agama yang menjerat sang calon petahana Ahok.
Menarik untuk disimak bahwa belajar dari kasus Jessica dan membandingkannya dengan dampak yang terjadi selama proses peradilan yang menjerat Ahok berlangsung, pers seolah ingin berhati-hati dengan menggelar pertemuan yang pada intinya agar persidangan atas nama terdakwa Ahok tidak disiarkan secara live atau setidak-tidaknya live terbatas. Perbedaan tersebut terletak pada skala yang menjadi korban dan kondisifitas. Pada kasus Jessica, korbannya adalah Mirna beserta keluarga dan kerabat yang merasakannya secara langsung, skala yang relatif kecil dan relatif konsisten dengan kasus-kasus pembunuhan yang ada di Indonesia, tetapi pada kasus Ahok, skala korbannya begitu besar. Tidak hanya itu, posisi Ahok sebagai calon kandidat Gubernur DKI Jakarta dan status beliau yang non-muslim turut berpengaruh pada demokrasi ‘kebablasan’ masyarakat di media sosial yang menimbulkan kegaduhan. Kebebasan berekspresi (freedom of expression) di dunia maya tampak ramai oleh aksi saling ejek dan saling fitnah, cyber bullying, hingga menyebarkan issue berbau hoax. Dampak destruktif tersebut menjadi alasan untuk tidak menyiarkannya secara langsung.
Asas Persidangan yang Terbuka untuk Umum
Pada dasarnya suatu persidangan wajib dilaksanakan (imperative) secara terbuka untuk umum (openbaarheid van rechtspraak), kecuali undang-undang menentukan lain, yaitu dalam hal perkara melanggar kesusilaan (sex offence), pada persidangan dengan terdakwa di bawah umur (juvenile justice), dalam hal untuk melindungi seorang atau beberapa saksi yang harus dilindungi karena identitasnya tidak boleh diketahui oleh umum (anonymous witness) atau jika keterangan saksi akan merugikan keamanan negara (Hamzah 2014, 52). Apabila ketentuan tersebut tidak dipenuhi, berdampak pada putusan batal demi hukum (null and void). Maka sudah sewajarnya jika kita bersafari di ruang pengadilan, maka kita mendapati akses yang bebas dan terbuka (met opendeuran) untuk sekedar melihat-lihat atau menonton jalannya persidangan.
Keterbukaan merupakan prinsip yang menjaga ‘sakralitas’ berwujud independensi yang bebas dan merdeka (independency of judiciary), termasuk juga sikap, etos dan etika sehingga memacu totalitas fisik dan non fisik para hakim sebagai ‘wakil Tuhan’ penegak keadilan di muka bumi. Keterbukaan merupakan wujud akuntabilitas dalam menegakkan moralitas sosial dan spiritual, termasuk dalam menggerakkan syaraf-syaraf keadilan. Keterbukaan mecirikan suatu peradilan yang modern yang secara implisit ikut merangkul masyarakat untuk menilai suatu interaksi yang memucak pada klimaks munculnya keadilan atau malah sebaliknya. Namun dalam menilai asas persidangan yang terbuka untuk umum patut dicerna adalah apakah keterbukaan juga ditafsirkan secara fleksibel termasuk juga dapat untuk disiarkan secara live? Menurut Zulva, implikasi siaran live menyebabkan terganggunya kredibilitas keterangan para saksi atau bahkan pendapat para ahli akibat pengaruh komentar-komentar para pengamat dan pengaruh keterangan para saksi dan para ahli yang telah lebih dahulu memberikan keterangan (Baca: Sidang Live: Tantangan SIdang Terbuka Untuk Umum). Alhasil seorang saksi atau ahli bisa saja mengubah keterangannya setelah menyaksikan siaran livepersidangan. Tentu jika kita analisis implikasi tersebut seolah menerobos ketentuan pasal 159 ayat (1) KUHAP yang melarang adanya interaksi para saksi untuk menjaga independensi dan kredibiltas keterangannya, justru siaran live secara implisit telah mendobrak hal tersebut.
Implikasi Trial by The Press
Jika kita komparasikan dengan negara lain, baik di Eropa ataukah di Amerika Serikat, suasana persidangan yang ditayangkan ditelevisi bukanlah siaran live melainkan rekaman dalam suatu sketsa persidangan dan sketsa wajah terdakwa (Syarifuddin 2002). Hal ini dilakukan sebagai bentuk menghormati asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) dan untuk melindungi aspek kemanusiaan (humanity) yang melekat pada diri terdakwa agar tidak berimplikasi pada derasnya arus penggiringan opini di hadapan publik (sub judice rule) dan berakhir pada penghakiman publik (trial by the press).
Doktrin kebebasan pers haruslah dapat dipahami sebagai kebebasan dalam kerangka tanggung jawab pers (a free and responsible press). Di negara-negara berhaluan common law,peliputan suatu perkara, baik secara visual maupun dalam bentuk artikel di suatu harian berita yang berdampak pada “unfair comment” sangat rentan berimplikasi pada jalannya suatu persidangan. Media berperan dalam menggiring suatu persepsi publik (prejudice) untuk setidaknya menilai bahkan bisa sampai menghakimi (trial by the press) sebelum adanya putusan pengadilan yang tetap (in kracht van gewijsde). Pertama,belajar dari kasus Jessica, dampak dari siaran live tersebut telah berhasil membagi kubu-kubu yang saling kontradiktif dan kontraproduktif terhadap asas presumption of innocence. Kedua, vulgaritas persidangan membuat para saksi dan para ahli telah saling mengetahui keterangan pihak-pihak lain yang berdampak pada kredibilitas keterangan para pihak yang belum tampil di persidangan (pasal 159 ayat (1) KUHAP. Ketiga,dampak dari kekuatan penggiringan persepsi publik awam sangat berimplikasi pada eksistensi kebebasan hakim yang tersandera oleh tekanan tuntutan publik (sub judice rule). Maka dalam kasus Ahok, alangkah baiknya demi menjaga kredibilitas di ruang persidangan, seluruh media bersama-sama menjaga martabat dan keluhuran pengadilan sekaligus menjaga agar tidak sampai berimplikasi lebih lanjut mengenai persepsi yang mengambang di masyarakat. Jika pada akhirnya semua masyarakat menginginkan sidang secara live, maka selain pada tahap pemeriksaan pembuktian, majelis hakim dapat mempersilahkan sidang secara live atau siaran langsung-terbatas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H