The evil incident to invasion of privacy of the telephone is far greater than that involved in tampering with the mails – Justice Louis Brandeis.
Penyadapan kembali menjadi topik hangat setelah dalam salah satu agenda sidang kasus penistaan agama yang menjerat sang petahana Basuki Tjahja Purnama (Ahok), penasehat hukum Ahok mengajukan beberapa pertanyaan untuk memperkuat kehadiran bukti mengenai adanya percakapan antara Ketua MUI KH. Ma’ruf Amin (yang pada saat bukti tersebut akan diajukan berkedudukan sebagai saksi dalam perkara a quo) yang percakapan beliau tersebut disinyalir bersama mantan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Tim penasehat hukum bersama terdakwa dengan sangat fasih menguasai isi pembicaraan antara saksi dan SBY seolah mereka berada di tengah-tengah pembicaraan bagaikan hantu yang tak terlihat bergentayangan.
Tentu kita akan bertanya-tanya, bagaimana bisa tim penasehat hukum terdakwa bisa memperoleh bukti yang isinya adalah mungkin transkip atau mungkin juga rekaman (hingga saat ini penulis belum jelas mengetahui bentuk bukti tersebut) yang merupakan hasil pembicaraan via telepon orang lain? Bukankah hal ini jelas-jelas merupakan wilayah teritori privasi seseorang? Tentu secara logika sangat tidak mungkin suatu pembicaraan via telepon yang jelas-jelas hanya dapat diketahui isi pembicaraan tersebut oleh masing-masing subyek koresponden bisa diketahui oleh pihak lain, kecuali melalui jalan pintas menerobos batas teritori privasi, yaitu penyadapan (wiretapping/interception). Maka tak heran jika SBY kembali beraksi melalui curhat yang kali ini tidak lagi melalui cuitan curhat 140 karakter itu, tetapi langsung blak-blakan via konferensi pers. Dengan tegas beliau berkata, “telepon saya disadap”.
Tentu isu penyadapan tersebut masih misterius kebenarannya, namun jika hal tersebut benar adanya maka pertanyaan selanjutnya adalah apakah advokat dalam kedudukannya sebagai penegak hukum juga memiliki kewenangan untuk melakukan penyadapan? kemudian apakah advokat berdasarkan UU Advokat berhak memperoleh informasi, data, dan dokumen lainnya, baik dari instansi pemerintah maupun pihak lain yang berkaitan dengan kepentingan tersebut yang diperlukan untuk pembelaan kepentingan kliennya, juga termasuk dokumen elektronik berupa sadapan?
Pertanyaan-pertanyaan di atas hanya akan menghasilkan jawaban yang dilematis mengingat UU ITE menyebut baik kepolisian, kejaksaan dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang dapat melakukan penyadapan demi kepentingan penegakan hukum. Sedangkan menurut UU Advokat, status advokat juga merupakan penegak hukum.
Namun frasa “institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang” dapat kita pahami bahwa kewenangan penyadapan yang dapat dimiliki oleh institusi penegak hukum lainnya selain kepolisian dan kejaksaan hanya dapat diatur melalui undang-undang (seperti kewenangan penyadapan oleh KPK dalam UU KPK dan kewenangan penyadapan oleh BNN dalam UU Narkotika).
Akan tetapi advokat sebagai bagian dari penegak hukum belum memiliki instrumen kewenangan secara formal dalam undang-undang untuk dapat melakukan penyadapan, sehingga jika kita kaitkan dengan parameter pembuktian “bewijsvoering” maka tindakan advokat mencari, mengumpulkan, memperoleh dan menyampaikan bukti di persidangan yang merupakan hasil penyadapan (real evidence/physical evidence) masuk dalam kategori unlawful legal evidence atau illegal secured evidence mengingat penyadapan merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM) dan konstitusi (sepanjang masih berada dalam bagian derogable rights), maka penyadapan secara tidak sah (unlawful interception) merupakan tindak pidana, namun berkaca pada UU Advokat, maka advokat memiliki hak imunitas (immunity right), sehingga advokat dalam menjalankan tugas profesinya tidak dapat dituntut baik secara perdata baik pidana.
Menurut Indriyanto Seno Adji, penyadapan merupakan pelanggaran terhadap HAM, namun masuk kategori derogable rights. Sifat larangan penyadapan merupakan larangan relatif yang dilakukan berdasarkan perintah pengadilan (court order) yang berkaitan dengan interest of justice dan kekuasaan yang sah berdasarkan undang-undang (legally power), sedangkan menurut Access.org prinsip-prinsip pembatasan HAM dalam konteks penyadapan harus dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip legality, legitimate aim, necessity, adequacy, proportionality, competent judicial authority, due process, user notification, transparency, public oversight, integrity of communications and systems, safeguards for international cooperation, safeguards dan against illegitimate access.
Penyadapan sebagai suatu masalah dalam penegakan hukum sesungguhnya berakar pada kondisi regulasi penyadapan yang tidak harmonis baik dalam hal sinkronisasi horizontal maupun vertikal. Menurut Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) terdapat 16 (enam belas) regulasi penyadapan yang tersebar yang masing-masing saling tumpang tindih yang dapat berakibat pada proses penegakan hukum. Plurasime regulasi penyadapan akan sangat mempengaruhi proses penegakan hukum dan hak privasi (privacy rights).
Kondisi tersebut membuat MK mengeluarkan putusan No. 006/PUU-I/2003 yang menyatakan bahwa, “untuk mencegah kemungkinan penyalahgunaan kewenangan untuk penyadapan dan perekaman, Mahkamah Konstitusi berpendapat perlu ditetapkan perangkat peraturan yang mengatur syarat dan tata cara penyadapan dan perekaman tersebut.”
Kemudian kembali diperkuat dalam putusan No. 5/PUU-VIII/2010 bahwa, “Menimbang bahwa Mahkamah menilai hingga saat ini belum ada pengaturan secara komprehensif mengenai penyadapan. Hal ini menunjukkan bahwa pengaturan mengenai penyadapan masih tersebar di beberapa Undang- Undang dengan mekanisme dan tata cara yang berbeda-beda. Tidak ada pengaturan yang baku mengenai penyadapan, sehingga memungkinkan terjadi penyimpangan dalam pelaksanaannya…..Menimbang bahwa di beberapa negara pengaturan mengenai penyadapan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, antara lain di Amerika Serikat, Belanda, dan Canada, sedangkan di Indonesia, pengaturan mengenai penyadapan tersebar di beberapa peraturan perundang-undangan…..Bahwa pada dasarnya sangat dibutuhkan regulasi yang komprehensif dan tepat untuk mengendalikan sejumlah kewenangan yang tersebar di beberapa Undang-Undang. Sinkronisasi ini hanya dapat dilakukan oleh peraturan setingkat Undang-Undang…..”Adapun pertimbangan putusan MK No. 20/PUU-XIV/2016, “…..bahwa penyadapan untuk kepentingan hukum pun harus dilaksanakan berdasarkan prosedur hukum yang telah ditentukan oleh undang-undang, oleh karena itu penyadapan yang dilakukan tanpa melalui prosedur yang ditentukan oleh undang-undang adalah tidak dapat dibenarkan.”