Menyambut Mata KeadilanÂ
Langit pagi kota Jakarta terasa sejuk kala sesaknya polusi kehidupan mengisi aktivitas pembangunan. Hilir mudik pencari nafkah mewarnai derasnya perputaran uang. Di gedung KPK para pegawai, pimpinan, eks-pimpinan dan masyarakat ikut merasakan hawa sejuk nafas baru mereka yang selama ini tersandera oleh lingkaran setan. Wajah teduh yang kini terciderai oleh tumbal keadilan. Sang wajah baru keadilan atau lebih tepatnya wajah ikonik baru bernama Novel Baswedan.Â
Ada haru yang menyeliputi perasaan gamang, ada keceriaan yang mewarnai para pemenang saat menyambut kedatangan Novel Baswedan. Mungkin kesejukan seperti ini tak merambah di tempat lain, ketika hati-hati yang tengah gundah gulana mulai ketar-ketir melihat kebebasan sikap, keteguhan prinsip dan kekuatan mental si panglima KPK.
Mereka menyebutnya sebagai NoDa (Novel basweDan), NoDa harus disingkirkan agar putihnya kebohongan dapat mengaburkan kebenaran. Kini saat media ramai-ramai menyambut kedatangan sang pahlawan, para koruptor dan bibit-bibitnya mulai menonton awal dari jalan panjang menuju kegagalan, mungkin mereka akan melihat si NoDa sebagai (Novel eDan).Â
Maksud hati untuk ikut menjadi bagian riak-riak penyambut, apa daya samudera membatasi, tetapi saya yakin kekuatan hati dan fikiran yang diaktualisasikan lewat daya magis pena lewat sebuah tulisan ini setidaknya sudah cukup untuk mengirimkan spirit baru bagi semangat pemberantasan Korupsi.
Mata Novel Menatap Keadilan
Tak terasa sudah 10 bulan berlalu sejak peristiwa mengenaskan yang merenggut harga diri keadilan, bukan harga diri Novel, karena harga diri beliau tetap tegak konsisten berdiri di ujung barisan perjuangan, tetapi harga diri penegak hukum yang bahkan hingga kini kasus level 'ecek-ecek' tersebut seolah berada dalam kabut tebal, sehingga penyelidikan hingga penyidikan seolah terjebak pada lingkaran kabut tebal.Â
Apakah kita mulai ragu dengan kredibilitas penegak hukum kita yang bahkan prestasinya mampu dilirik negara-negara lain dalam berbagai operasi, keberhasilan dalam penanggulangan terorisme, ketajaman mencium penyelundupan narkoba di perairan Nusantara dan berbagai aksi heroik lainnya lantas prestasi tersebur seolah buntu dan berada di jurang terjal kala yang menjadi korban adalah KPK? Saya tidak ingin membangun asumsi sesat tersebut yang justru akan meruntuhkan bangunan keadilan yang terintegrasi.
Asumsi demikian hal yang justru akan merusak cara pandang masyarakat terhadap aparat penegak hukum kita dan membangun sebuah paradigma 'totem pro parte' terhadap aparat penegak hukum. Memang pada dasarnya secara faktual tingkat kepercayaan publik terhadap KPK jauh membelakangi lembaga penegak hukum lainnya, tetapi kita tidak boleh menjadikan dasar untuk membuat perbandingan diantaranya.
Perbandingan hanya akan membuat bangunan keadilan layaknya arena Colosseum,sebaliknya kita harus membangun asumsi yang dapat mengnyinergikan para catur wangsa dan KPK agar mampu mengoptimalkan kinerja trigger mechanismdan juga membangun pondasi keadilan yang utuh (integrated).
Tak perlu lagi ada alasan bagi penyidik Kepolisian untuk bersikap defensif dan mencari-cari alasan yang tidak rasional (unreasonable) dengan menuduh Novel tidak kooperatif, hal yang justru klise dan meruntuhkan kredibilitas dan menimbulkan sikap apatis masyarakat, bahkan akan memicu resistensi terhadap Kepolisian, meminjam istilah Mantan Wamenkumham Denny Indrayana, Negara ini sudah cukup berhutang mata terhadap Novel (Baca: Indonesia Berhutang Mata kepada Novel), bukan hutang pembangunan tetapi hutang keadilan.Â