Saya sengaja memulai tulisan ini dengan sebuah pernyataan keras dari  Anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI, Mochammad Afifudin, yang mengingatkan semua kepala daerah yang akan maju di pemilihan kepala daerah mendatang tidak memanfaatkan situasi pandemi coronavirus disease (covid)-19 untuk kepentingan politik praktis dan pencitraan mereka.
Ucapan Afifudin, kiranya patut kita renungkan bahwa saat ini dibalik musibah mewabahnya virus corona yang berdampak luas pada perekonomian masyarakat banyak kepala daerah yang berstatus incumbent dan juga yang akan maju di Pilkada 2020 memanfaatkan momentum ini untuk mengkampanyekan dirinya dengan segala cara.
Ada yang memasang baliho berukuran besar sampai membagikan sembako dan Alat Pelindung Diri (APD) serta masker kepada Paramedis dan masyarakat luas. Â
Tentulah sikap itu tidak baik dan tidak patut dipertontonkan kepada masyarakat. Sebab dibalik semua aksi berlagak sosial itu tersimpan maksud lain yaitu ketidaktulusan dan tentu saja sebuah strategi mengambil hati masyarakat dengan berlagak sosial padahal punya tujuan pribadi.
Faktanya hari ini hal itu adalah sebuah realita. Banyak Kepala Daerah yang berencana akan maju lagi di pilkada 2020 berlomba-lomba menggunakan kesempatan refocusing dana APBD yang ditunggangi program-program pencitraan pribadi mereka sebagai Kepala Daerah seperti bagi-bagi beras, karung berasnya ditempeli gambar sang calon Kepala Daerah, kalau bantuan pribadi pakai dana pribadi, silakan tempelin foto kepala daerah sebesar2nya dikarung beras tsb,tidak ada masalah,ini APBD,semua tahu APBD itu uang rakyat,bener2 malu2in,bahkan setiap bagi-bagi beras ada calon Kepala Daerah yang menjadi "kuli panggul" dari rumah ke rumah yang menimbulkan kerumunan.
Jamak juga ditempat yang lain, ada calon Kepala Daerah yang membagikan 5 atau 10 karung beras dari titik ke titik tukang ojek membawa tim sukses dan wartawan puluhan yang juga memimbulkan kerumunan.
Ini realitas bahkan dengan bangganya di upload di media sosial, padahal hal-hal yang menimbulkan kerumunan ini dilarang dalam Maklumat Kapolri guna mencegah dan memutus mata rantai Covid-19.
Tak terkecuali di beberapa daerah di Sumbar, hal yang sama juga terjadi. Namun bukannya berhasil, langkah sok sosial itu justru mempermalukan kepala daerah itu sendiri. Ditengah ketidaksiapan pemerintah menghadapi bahaya Covid yang senantiasa mengancam, muncul persoalan lain yaitu timbulnya rasa frustasi di tengah masyarakat yang menunggu realisasi janji jani pemerintah daerah.
Persoalan lain yang muncul sebagai bukti ketidaksiapan pemerintah adalah data penerima Bantuan Langsung Tunai dan Bantuan Sembako itu juga tidak jelas dan tidak tepat sasaran. Beruntung saja, ada penerima yang menolak karena merasa tidak pantas menerima karena berkecukupan.
Di Malalak Kabupaten Agam misalnya, seorang nenek yang dikenal dengan nama nama Mak Opet menolak dan mengembalikan bantuan beras dari pemerintah karena merasa tidak pantas menerima. Ia memberi tauladan kepada warga lain, namun sekaligus menampar wajah pemerintah daerah yang telah salah alamat memberikan bantuan.
Tentu saja aksi Si Nenek yang direkam video netizen seketika menjadi bahan perbincangan dan viral melalui media sosial dan media nasional lainnya. Namun, pemerintah seperti tidak memiliki urat malu dengan mengakui bahwa bantuan itu telah salah alamat sekaligus juga tidak bernilai.
Bayangkan, bantun yang diberikan hanya berupa beras seberat lima kilogram serta sebungkus garam dapur. Sementara melalui berita, disebutkan bahwa seharusnya pemerintah menyediakan sembilan bahan pokok kepada warga miskin dan terdampak Covid-19.
Saya teringat ucapan Haji Agus Salim yang sangat fenomenal. Memimpin adalah Menderita. "Leiden is lijden!". Artinya bisa dipahami bahwa seorang pemimpin harus siap dikritik dan tidak harus berada di zona nyaman. Jika seorang pemimpin tidak siap dikritik maka seharusnya ia tidak menjadi pemimpin.
Terlebih dalam situasi yang sangat rentan dan darurat sekarang ini. Pemerintah dituntut jeli dan teliti serta lebih dari itu, harus menunjukkan empati tanpa motif politik pribadi.
Wabah Corona telah menyebabkan hilangnya penghasilan masyarakat terlebih yang bekerja di sektor informal. Masalah ini tentu saja berentet pada munculnya rasa frustasi masyaarakt yang sensitif akan janji janji pemerintah yang tidak realistis.
Di Kota Padang dan banyak daerah lain seperti Agam, Lima Puluh Kota, Sijunjung dan kabupaten kota lain, banyak warga yang masih menunggu realisasi pembagian sembako sebagai tindak lanjut dari pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Warga menyesalkan lambannya aparat pemerintah kabupaten dan kota serta propinsi dalam merespon kebutuhan mereka serta menyayangkan langkah-langkah tidak tepat yang diambil pemerintah.
Selain banyak bantuan yang tidak datang dan mereka terima, juga jamak ditemui bantuan yang dijanjikan tidak tepat sasaran. Kembali ke peristiwa penolakan seorang nenek tua di Malalak-Kabupaten Agam yang mengembalikan sekarung kecil beras, nampaknya hal ini membuktian bahwa pemerintah daerah tidak siap dan tanggap menghadapi apa yang seharusnya mereka sudah pasih mengerjakannya.
Apalagi jika melihat rekaman video tersebut Mak Opet hanya menerima bantuan beras dan garam dapur. Pertanyaanya kemana anggaran pembelian Sembako, rasanya ditengah kemudahan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada Daerah untuk mengatur ulang dan merelokasi anggaran untuk fokus pada penanganan Covid, bantuan itu mestinya dilengkapi dengan minyak goreng, gula, ikan sarden dan telur serta bahan pokok lainnya.
Saya mendengar dan membaca langkah Pemkab Agam ini mendapat kritik dari kalangan DPRD Agam. Di Padang hal yang sama juga terjadi. Sudah banyak protes dan masukan disampaikan namun seperti angin lalu saja dan tidak diindahkan. Bahkan yang terjadi malah Pemkab Agam bereaksi negatif.
Sekali lagi, saya berpendapat menjadi kepala daerah itu harus rajin mendengar keluhan rakyat bukan rajin bikin baliho mengunakan anggaran APBD lalu sibuk melakukan pencitraan kesana kemari seolah olah bekerja.
Kita tahu penerapan PSBB harusnya disertai dengan perencanaan yang matang. Bukankah sudah berkali kali rapat dilaksanakan di Propinsi untuk kesiapan menghadapi PSBB. Namun sampai hari keempat pelaksanaan PSBB pemerintah masih gagap dan bingung serta tidak tegas dalam menjalankan amanat pemerintah pusat tersebut.
Pelaksanaan PSBB di Sumbar terkesan PSBB Urang, PSBB pula Awak. Dulu ramai ramai minta PSBB, tapi setelah PSBB disetujui Pemerintah Pusat tidak jelas apa yang dikerjakan.
Saya mengkritik keras kesiapan pemerintah daerah dalam menerapkan PSBB, apa yang terjadi ditengah masyarakat saat ini adalah tanggung jawab pemerintah daerah. Amanat PSBB mewajibkan pemerintah untuk menjamin ketersediaan bahan pokok warga masyarakat.
Pemerintah daerah jangan hanya pandai berteriak PSBB dan melakukan pelarangan, tetapi hak warga masyarakat untuk tetap hidup harus dijamin. So, jangan asal melarang larang, ketika ditanya kewajiban pemerintah, sangat lamban dan malah tidak mampu memenuhinya.
Pandemi Covid-19 menyisakan pekerjaan rumah yang sangat besar bagi semua daerah dan Indonesia secara keseluruhan. Wabah Covid-19 adalah ujian yang nyata bagi para pemimpin dan kepala daerah, karena semua kebijakan terkait Corona Virus memerlukan kesigapan dan kematangan langkah yang diambil pemimpin.
Bukan kesiapan untuk melakukan pencitraan politik demi ambisi pribadi. Jika itu yang terjadi, Rakyat akan mendapatkan kemalangan berlipat, satu karena kebutuhan hidup mereka terganggu, kedua karena diberi pemimpin yang gugup dan gagu.
Oleh
Muhammad Rafiuddin Zamzami
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H