Muhammadiyah adalah salah satu organisasi Islam di Indonesia yang dikenal mempunyai orientasi keislaman yang berkemajuan. Ideologi Islam berkemajuan ini ditunjukkan dalam dua prinsip, yakni modernisasi dan purifikasi. Dalam perjalanan sejarahnya, kedua prinsip ini tidak selalu berjalan seiring delam Muhammadiyah. Dalam periode kepemimpinan Kyai Haji Ahmad Dahlan purifikasi dan modernisasi/dinamisasi ditampilkan secara seimbang. Namun, dijelaskan oleh para ahli, ideologi Islam modernis Muhammadiyah mengalami fluktuasi. Bahkan prinsip purifikasi dan modernisasi cenderung berjalan secara terpisah. Menungkatnya pengaruh wahabisme terhadap para ulama Muhammadiyah, baik yang belajar di Mekkah pada era 1930-an maupun yang belajar di tanah air di bawah bimbingan ulama-ulama yang berorientasi Salafi pada tahun-tahun setelahnya, memnyebabkan menguatnya pendukung purifikasi di Muhammadiyah.
Terlepas dari persoalan di atas, Muhammadiyah nyatanya mampu meposisikan diri pada prinsip keislamannya, antara purifikasi dan modernisasi. Artinya Muhammadiyah tidak menjadikan salah satunya menjadi fokus utama dan mengesampingkan yang lain. Pada ranah purifikasi Muhammadiyah menitik beratkan pada ranah akidah dan Ibadah. Pemikiran tentang purifikasi Muhammadiyah dari awal berdiri hingga memasuku abad 21 dihadapkan dalam tiga fase, yaitu fase spiritualisai syariah yakni masa awal Muhammadiyah berdiri, fase formalisasi syariah dengan berdirinya Majlis Tarjih, dah spiritualisasi syariah babak kedua yang diisi oleh kepemimpinan generasi berpendidikan tinggi modern, yang salah satunya menjadikan Muhammadiyah sebagai gerakan Manhaji.
Gerakan purifikasi yang dilakukan oleh Muhammadiyah tidak melupakan misi modernisasinya. Pada ranah ini, Wiliam Shepard mengkategorisasikan Muhammadiyah sebagai kelompok "Ismalic Modern" yang lebih focus bergerak membangun "Islamic society" (masyarakat Islam) daripada perhatian terhadap "Islamic state" (negara Islam); yang fokus gerakannya pada bidang pendidikan, kesejahteraan sosial, muamalah serta tidak menjadi organisasi politik kendati para anggotanya tersebar di berbagai partai politik. Pandangan modernis tersebut berbeda dengan pandangan sekular yang memisahkan agama secara diametral dari negara atau sebaliknya pandangan fundamentalisme-Islam yang menghimpitkan secara sama sebangun antara agama dan negara.
Dengan demikian paradigma modernis-reformis dalam tubuh Muhammadiyah cenderung eklektik atau berada di tengah (tawazun, tawasuth), sehingga dapat dikatakan sebagai berdiri dalam posisi paradigma wasithiyyah. Posisi dan peran tengahan itu bukan berarti kehilangan ketegasan dan jati diri karena dalam hal-hal prinsip yang fundamental tetap kokoh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H