Praktik korupsi telah lama menjadi isu yang merusak tatanan sosial dan ekonomi Indonesia. Menurut data yang dilaporkan, dalam waktu sepuluh hari pertama kepemimpinannya, Presiden Prabowo Subianto mengumumkan penangkapan 28 koruptor yang terlibat dalam berbagai kasus besar, dengan kerugian negara mencapai Rp 3,1 triliun. Langkah ini menuai pujian dan harapan akan perubahan yang signifikan dalam pemerintahan, namun juga menimbulkan pertanyaan: Apakah tindakan ini sekadar simbolis atau benar-benar menandai era transparansi baru di Indonesia?
Saya di sini ingin ymenggunakan pendekatan filsafat kritis untuk menganalisis efek, tujuan, dan keberlanjutan dari kebijakan anti-korupsi Prabowo. Dengan menyoroti pandangan beberapa filsuf, saya bertujuan untuk mengevaluasi, apakah upaya ini berpotensi mengubah sistem secara struktural atau hanya sementara.
Meninjau Efektivitas Pemberantasan Korupsi di Awal Pemerintahan
Langkah awal Prabowo berfokus pada beberapa kasus besar, seperti dugaan korupsi dalam izin ekspor CPO, penyalahgunaan Dana Desa di Bengkulu Utara, proyek Tol Padang-Pekanbaru, serta kasus impor gula yang melibatkan mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong. Dalam konteks ini, tindakan Prabowo menunjukkan komitmen yang jelas terhadap penegakan hukum dan pengawasan.
Namun, secara filosofis, kita bisa mengacu pada konsep "tindakan simbolis" dari Jean Baudrillard. Baudrillard berargumen bahwa dalam masyarakat modern, tindakan pemerintah sering kali bersifat teatrikal, untuk menciptakan persepsi perubahan daripada perubahan itu sendiri. Jika dilihat dari perspektif ini, tindakan cepat menangkap koruptor dalam jumlah besar bisa jadi hanya simbol yang dimaksudkan untuk membangun citra pemerintah yang bersih, tanpa perombakan mendasar pada sistem yang memungkinkan korupsi terjadi.
Baca Juga:Â Artis di Parlemen: Antara Popularitas atau Kapabilitas?
Filsuf Karl Marx berpendapat bahwa struktur masyarakat---terutama hubungan produksi dan distribusi kekayaan---membentuk kesadaran dan perilaku individu. Dalam konteks korupsi, pendekatan Marx menunjukkan bahwa akar permasalahan mungkin terletak pada sistem ekonomi dan politik yang memungkinkan korupsi merajalela. Penangkapan beberapa orang saja, meski signifikan, tidak cukup untuk mengatasi masalah korupsi yang mendalam di Indonesia jika sistem yang mendasarinya tidak dirombak.
Contoh kasus di mana struktur berperan besar adalah pada hubungan kekuasaan di lembaga-lembaga pemerintahan dan ekonomi. Jika pejabat dan birokrat tetap berada dalam sistem yang terpusat pada kekuasaan dan akumulasi kekayaan, korupsi akan sulit diberantas secara menyeluruh. Sebagaimana Marx menekankan perlunya perubahan struktural untuk menciptakan kesetaraan, pemberantasan korupsi yang efektif memerlukan reformasi mendalam pada sistem politik dan ekonomi, bukan hanya penangkapan individu.
Filsafat Moral dan Etika dalam Pemberantasan Korupsi
Immanuel Kant berargumen bahwa tindakan moral harus didasarkan pada niat baik (good will) dan bukan sekadar tindakan simbolis atau instrumental. Berdasarkan wawancara dengan Prabowo, di mana ia menyatakan keseriusannya dalam melawan korupsi meskipun ditertawakan, ada indikasi bahwa niat Prabowo murni dan berkomitmen untuk memperbaiki sistem.
Namun, tindakan politik sering kali terjebak dalam dilema antara niat baik dan kebutuhan pragmatis untuk mempertahankan dukungan publik. Apakah niat baik Prabowo dapat diterjemahkan menjadi kebijakan yang konsisten dan jangka panjang, atau akan hilang di tengah tekanan politik dan kepentingan elit? Dalam konteks ini, filosofi Kant menantang kita untuk menilai integritas pemerintah berdasarkan apakah mereka tetap konsisten dalam upaya pemberantasan korupsi meskipun menghadapi hambatan bbesar.
Selain itu, Filsuf sosial Jrgen Habermas menekankan pentingnya komunikasi yang jujur dan transparan untuk membangun kepercayaan publik. Dalam konteks pemberantasan korupsi, tindakan yang nyata dan transparan sangat penting untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat pada institusi pemerintah. Penangkapan 28 koruptor dalam waktu singkat adalah langkah positif, tetapi tanpa keterbukaan informasi dan laporan berkala tentang kemajuan pemberantasan korupsi, kepercayaan publik akan sulit dipertahankan.
Selain itu, transparansi tidak hanya berfungsi sebagai alat kontrol publik, tetapi juga sebagai instrumen pendidikan bagi masyarakat untuk memahami betapa seriusnya pemerintah dalam mengatasi korupsi. Jika transparansi ini konsisten, maka pemerintahan Prabowo bisa menjadi teladan dalam pemberantasan korupsi yang terukur dan berkelanjutan.