Dunia berpacu dengan waktu untuk mencapai Net Zero Emission. Target krusial ini bertujuan menyeimbangkan emisi gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan dan yang diserap agar tidak ada emisi tambahan yang memperparah pemanasan global.Â
Jika tidak tercapai, suhu bumi bisa meningkat lebih dari 1,5°C dan menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan, kesehatan, dan ekonomi.
Sebagai negara kepulauan, Indonesia menghadapi risiko serius dari kenaikan permukaan laut dan cuaca ekstrem akibat perubahan iklim. Dengan kondisi ini, Indonesia memiliki tanggung jawab besar untuk mendukung pencapaian Net Zero Emission, terutama pada sektor penggunaan lahan, perubahan penggunaan lahan, dan kehutanan atau FOLU (Forest and Other Land Use).Â
Sektor FOLU menyumbang sekitar 40% dari total emisi GRK di Indonesia. Pemerintah Indonesia telah menetapkan target ambisius penurunan emisi hingga minus 140 MtCOâ‚‚e pada 2030. Untuk mencapainya, diperlukan langkah-langkah strategis seperti memperketat perlindungan hutan, rehabilitasi lahan, serta pengelolaan lahan yang berkelanjutan.
Salah satu sektor yang berada di persimpangan ini adalah kelapa sawit, komoditas unggulan yang menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia, namun juga berkontribusi besar terhadap emisi GRK.
Sebagai penghasil utama minyak sawit dunia, Indonesia memiliki lebih dari 16,83 juta hektar perkebunan sawit dengan hasil produksi per tahun mencapai 54,84 juta ton.Â
Kelapa sawit berkontribusi besar terhadap neraca perdagangan Indonesia. Pada tahun 2023 ekspor kelapa sawit mencapai 32,21 juta ton dengan nilai USD 30,32 miliar. Selain itu, sektor ini  juga menjadi sumber penghidupan 16,5 juta penduduk Indonesia.
Namun, industri kelapa sawit menuai kritik tajam terkait dampak lingkungan yang ditimbulkan, yaitu deforestasi, degradasi lahan, dan peningkatan emisi GRK.Â
Data menunjukkan bahwa 53,8% pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit bersumber dari deforestasi, sehingga mengakibatkan hilangnya hutan tropis sebagai penyerap karbon alami. Selain itu, praktik pembakaran hutan untuk ekspansi lahan perkebunan memperburuk kualitas udara dan meningkatkan emisi karbon.
Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) hadir sebagai upaya strategis pemerintah untuk menyelaraskan dikotomi ini. BPDPKS adalah Badan Layanan Umum (BLU) di bawah naungan Kementerian Keuangan, tepatnya Ditjen Perbendaharaan. BPDPKS berperan menghimpun dan menyalurkan dana untuk mendukung keberlanjutan sektor kelapa sawit.Â
Dana perkebunan kelapa sawit bersumber dari pungutan ekspor kelapa sawit dan produk turunannya, dengan penerimaan mencapai Rp32,421 triliun pada tahun 2023. Dana tersebut kemudian disalurkan untuk membiayai berbagai program yang berfokus pada peningkatan produktivitas, pengembangan energi terbarukan, dan perbaikan aspek lingkungan.