Salah satu program utama BPDPKS adalah Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), yang bertujuan membantu pekebun sawit rakyat memperbarui tanaman yang telah tua atau kurang produktif agar lebih efisien dan berkelanjutan.Â
BPDPKS telah mengalokasikan Rp1,59 triliun untuk PSR dengan cakupan 21.910 pekebun dan area seluas 53.012 hektar pada tahun 2023. Program ini tidak hanya berhasil meningkatkan produktivitas perkebunan rakyat, tetapi juga mengurangi dorongan untuk ekspansi lahan baru yang dapat menyebabkan deforestasi.
Selain PSR, BPDPKS turut memperhatikan aspek sumber daya manusia melalui program pengembangan SDM. Dengan memberikan beasiswa kepada 6.265 mahasiswa dan pelatihan bagi 14.924 petani dan pelaku usaha, BPDPKS berupaya menciptakan generasi pekerja sawit yang lebih terampil dan berwawasan lingkungan.Â
Langkah ini diiringi dengan investasi pada riset sektor sawit, yang pada tahun 2023 mencakup 112 penelitian, dengan fokus pada peningkatan produktivitas, energi terbarukan, dan pengurangan dampak lingkungan. Hasil riset ini diharapkan mampu mendorong inovasi serta pengembangan teknologi yang mendukung keberlanjutan industri kelapa sawit.
Di samping itu, dana BPDPKS digunakan untuk pengembangan sarana dan prasarana, yang meningkatkan aksesibilitas dan efisiensi logistik bagi petani dan industri kelapa sawit Indonesia.Â
Melalui program ini, BPDPKS juga mengakselerasi sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) yang wajib dimiliki oleh seluruh pelaku usaha perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Dukungan BPDPKS dilakukan dalam bentuk pendanaan, pelatihan, dan bimbingan teknis.
Kendati demikian, berbagai tantangan masih membayangi upaya Indonesia mencapai Net Zero Emission. Pertama, penyaluran dana PSR perlu dioptimalkan agar lebih efektif. Kedua, tingkat sertifikasi ISPO masih rendah, dengan hanya 37,73% dari seluruh area perkebunan kelapa sawit yang tersertifikasi.Â
Perkebunan kecil menjadi yang paling terpuruk, dengan cakupan sertifikasi hanya 0,20%. Bahkan, Hadi et al. (2024)menemukan bahwa hampir seluruh pekebun tidak mengetahui bahwa ISPO akan segera dimandatorikan pada tahun 2025.
Ketiga, ada tuntutan dari kebijakan European Union Deforestation Regulation (EUDR) yang mewajibkan produk sawit memenuhi standar keberlanjutan yang tinggi dan transparansi rantai pasok guna mencegah kerusakan hutan. EUDR berdampak signifikan bagi Indonesia, mengingat 10% ekspor sawit ditujukan ke Uni Eropa. Jika regulasi ini tidak dipenuhi, Indonesia berpotensi kehilangan sekitar Rp30–50 triliun per tahun.
Di sinilah peran BPDPKS semakin penting. BPDPKS dapat mengakselerasi penyaluran dana PSR dengan meningkatkan koordinasi dan efisiensi proses bisnis. Selain itu, edukasi ISPO dapat dilakukan bersamaan dengan program PSR yang saat ini sudah memiliki cakupan yang lebih luas. Dukungan pendanaan seharusnya ditingkatkan guna memotivasi pekebun memperoleh sertifikasi ISPO. BPDPKS juga perlu melakukan kalibrasi terhadap kriteria verifikasi teknis sesuai dengan standar internasional yang berlaku serta memfasilitasi akses informasi tentang regulasi internasional kepada pelaku industri kelapa sawit.
Dengan demikian, BPDPKS tidak hanya berkontribusi dalam upaya untuk mencapai Net Zero Emission, tetapi juga menjaga kestabilan ekonomi Indonesia yang bergantung pada industri kelapa sawit.