Kita sering melihat dan mendengar slogan Rokok dapat membunuhmu. Kalimat tersebut bisa kita jumpai di bungkus rokok maupun di papan reklame rokok. Pesan dari slogan tersebut sederhana namun penting, yaitu untuk menghimbau masyarakat agar menghindari rokok karena dapat menimbulkan risiko terhadap berbagai penyakit yang dapat berdampak kematian (Holipah et al., 2023).
Namun, rokok tidak hanya dapat membunuh, tetapi juga dapat membuat seseorang masuk penjara. Hal tersebut diungkapkan dalam buku yang ditulis oleh dua widyaiswara--pegawai negeri sipil dengan tugas mendidik, mengajar dan/atau melatih secara penuh pada unit pendidikan dan pelatihan dari instansi pemerintah--yang bertugas di Pusdiklat Bea dan Cukai, Edy Purwanto dan Desak Ketut Juniari. Mereka merilis buku bertajuk 'Rokok dapat Membuimu' dua tahun lalu. Buku tersebut dari judulnya seperti menakut-nakuti pembacanya. Namun, setelah dibaca buku tersebut memuat banyak pembahasan yang menarik, khususnya terkait cukai hasil tembakau. 'Rokok Dapat Membuimu' mengajak kita untuk mengenali konsep cukai sebagai instrumen pemerintah mengendalikan konsumsi dan peredaran barang-barang yang menurut undang-undang perlu dibatasi. Edy dan Desak bercerita berdasarkan pengalamannya sebagai ahli dalam sidang-sidang terkait sengketa tentang cukai yang banyak berinteraksi dengan jaksa penuntut umum, hakim, serta terdakwa dan penasihat hukumnya dalam persidangan. Dalam buku juga diceritakan bagaimana bisa ada orang yang harus masuk bui karena cukai hasil tembakau. Kisah tersebut disajikan tidak hanya dari sisi penegak hukum, tetapi juga dari sisi manusiawi sehingga mampu menggugah emosi pembacanya. Selain itu, dalam 'Rokok Dapat Membuimu' juga tersirat penjelasan mengenai ketentuan pidana yang diatur dalam UU Cukai.
Buku tersebut menjadi semakin menarik ketika beberapa waktu ini ramai dibahas mengenai kebijakan pemerintah yang memungkinakan pelanggar ketentuan cukai dapat bebas dari ancaman hukuman penjara asal membayar sejumlah uang kepada negara. Kebijakan tersebut merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 54 Tahun 2023 tentang Penghentian Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Cukai untuk Kepentingan Penerimaan Negara. Aturan tersebut merupakan aturan pelaksanaan Pasal 64 ayat (9) UU Cukai.
Dalam pasal 2 ayat (1) PP tersebut diatur ketentuan bahwa dalam rangka memenuhi kepentingan penerimaan negara, penyidikan tindak pidana di bidang cukai dapat dihentikan. Selanjutnya dalam pasal 2 ayat (2) disebutkan bahwa ketentuan tersebut berlaku atas tindak pidana pada pasal 50, pasal 52, pasal 54, pasal 56, dan pasal 58 UU Cukai. Lebih lanjut dalam pasal yang sama juga dijelaskan bahwa ketentuan tersebut berlaku setelah terdakwa membayar sanksi administratif berupa denda sebesar empat kali nilai cukai yang seharusnya dibayar.
Sebelum itu, di awal tahun ini pemerintah sudah menetapkan aturan pelaksanaan pasal 40B ayat (6) UU Cukai melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 237/PMK.04/2022 tentang Penelitian Dugaan Pelanggaran di Bidang Cukai. Salah satu pokok aturan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tersebut yaitu penelitian dugaan pelanggaran di bidang cukai yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) dapat dihentikan apabila pelaku membayar sanksi administratif berupa denda sebesar tiga kali nilai cukai yang seharusnya dibayar.
Penanganan perkara seperti ini merupakan pengejawantahan asas ultimum remedium.  Asas ini memungkinkan adanya alternatif lain, seperti sanksi administrasi maupun sanksi perdata sebagai sarana untuk menegakkan hukum. Alternatif tersebut dapat ditempuh karena penerapan ultimum remedium berarti pemberian sanksi pidana dapat dijadikan sebagai upaya terakhir dalam penegakan hukum. Setidaknya terdapat tiga aspek yang mendukung mengapa penerapan asas ini merupakan suatu kemajuan dalam penegakan hukum di bidang cukai.
Aspek yang pertama adalah aspek penerimaan negara. Meskipun implementasi ultimum remedium dalam penanganan perkara di bidang cukai merupakan hal baru, asas ini sudah lazim digunakan dalam penanganan perkara di bidang perpajakan sesuai yang diatur dalam UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Keselarasan ini menunjukkan bahwa penerapan ultimum remedium dalam penegakan hukum di bidang cukai sudah sesuai karena pada dasarnya UU Cukai mengatur tentang pemungutan pajak dalam bentuk cukai atas barang-barang tertentu. Dengan demikian sudah seharusnya pengamanan penerimaan negara berupa fiscal recovery menjadi upaya yang didahulukan sebelum menjatuhkan sanksi pidana sebagai alternatif terakhir. Pemrioritasan ini dapat meningkatkan penerimaan negara di bidang cukai karena mengurangi kemungkinan terpidana memilih menjalani hukuman penjara daripada membayar pidana denda seperti yang sering terjadi dalam tiga tahun terakhir (Pasaribu, 2023).
Selain karena aspek penerimaan negara, ultimum remedium juga unggul karena dapat memberikan keadilan dan meningkatkan kepatuhan. Asas ultimum remedium lebih memberikan keadilan karena asas tersebut mengandung makna bahwa penerapan hukum pidana hanya terhadap orang yang melanggar hukum secara etis sangat berat, hukum pidana diberikan sebagai sanksi apabila sanksi bidang hukum lain tidak mampu menyelesaikan masalah pelanggaran hukum, dan hukum pidana sebagai ultimum remedium memrioritaskan langkah-langkah dan tindakan administratif karena pejabat administrasi yang lebih dulu mengetahui terjadinya pelanggaran (Januarsyah, 2017). Selain itu, pemberian deterred effect atau efek jera bagi pelaku berupa denda yang tinggi akan meningkatkan kepatuhan pengusaha di bidang cukai karena pengusaha harus menanggung biaya yang lebih besar daripada keuntungan yang didapatkan akibat pelanggaran yang dilakukan.
Aspek yang ketiga adalah efisiensi penegakan hukum di bidang cukai. Penanganan perkara pidana mulai dari penelitian dugaan hingga penjatuhan hukuman membutuhkan proses yang cukup panjang. Tidak jarang kita menemukan tangkapan petugas bea cukai berupa rokok yang beredar tanpa pita cukai dengan jumlah yang tidak signifikan. Apabila perkara tersebut harus disidik dan dibawa ke pengadilan maka akan menimbulkan inefisiensi karena biaya penanganan perkara dengan kerugian negara ditimbulkan atas pelanggaran tersebut tidak imbang (Redaksi DDTCNews, 2023). Dengan menerapkan asas ultimum remedium maka pelanggaran tersebut dapat diselesaikan dengan membayar tiga atau empat kali nilai cukai rokok tersebut. Selain menguntungkan dari sisi penerimaan negara, proses penegakan hukum juga menjadi lebih efisien dan cepat. Sehingga penegak hukum di DJBC dapat berfokus pada kasus-kasus dengan kerugian negara dan dampak yang lebih signifikan.
Namun, untuk mencapai tujuan tersebut dibutuhkan upaya maksimum dari DJBC untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat dan meningkatkan transparansi pengawasan DJBC. Keikutsertaan masyarakat dibutuhkan dalam rangka mewujudkan kesadaran untuk mematuhi ketentuan dalam perundang-undangan di bidang cukai. Kondisi tersebut dapat diraih melalui penyuluhan yang efektif dan pendekatan kepada reksan cukai dalam bentuk asistensi sebagai langkah preventif mencegah terjadinya pelanggaran. Selain itu, pengawasan juga perlu ditingkatkan oleh DJBC melalui profiling dan targeting. Sinergi DJBC dengan aparat penegak hukum lain juga perlu diperkuat mengingat penegakan hukum di bidang cukai melibatkan banyak pihak yang tidak jarang timbul resistensi.
Berdasarkan uraian di atas, patut dikatakan bahwa pemerintah mengambil langkah yang tepat dalam menerapkan ultimum remedium untuk penegakan hukum di bidang cukai. Dengan menerapkan asas tersebut, akan jarang kita melihat orang masuk bui karena rokok seperti yang diceritakan dalam buku 'Rokok Dapat Membuimu'. Melainkan, kita dapat melihat penegakan hukum di bidang cukai yang lebih efisien sehingga dapat meningkatkan penerimaan negara dan menciptakan keadilan dan kepatuhan.