Menjawab pertanyaan di judul artikel singkat ini bisa saja cukup satu paragraf. Namun setelah dicermati lagi, ada tiga penyebabnya. Pertama, latar belakang keislaman presiden. Kedua, pengaruh presiden terhadap institusi Miiternya. Ketiga, peran negara Adidaya.
Dari segi latar belakang Presiden. Almarhum Mursi sangat kental aura Keislamannya. Hafal Quran, tercatat pernah mengirim bantuan kemanusian hingga ke Aceh. Corak keislaman Partai pengusungnya serupa dengan PKS dan Hamas.Â
Sementara Erdogan ini lain. Bukan penghafal Quran. Aura keislamannya biasa saja. Partainya masih membawa-bawa sosok Kemal attatturk. Mirip mantan presiden Megawati yang membawa-bawa nama dan kharisma Bapaknya. Hal-hal seperti ini takkan luput dari sorotan negara Adidaya.
Terkait hafal Quran, pemimpin dunia yang juga penghafal Quran adalah Perdana Menteri Hamas, Ismail Haniya. "Bahkan anaknya yang bernama Aid berhasil menyempurnakan hafalannya dalam 35 hari dan memperoleh gelar mumtaz" tulis laman republika.co.id (25/6/2012)
Selanjutnya pengaruh di institusi Militer. Sama-sama politisi berlatar sipil. Namun, almarhum Mohammed mursi belum mencengkram dengan baik institusi militernya. Hasilnya mudah dikudeta oleh jendral Abdul fattah al Sisi. Adapun Erdogan mampu menggagalkan percobaan kudeta yang pernah menimpa dirinya.
Hal seperti ini perlu menjadi pembelajaran bagi politisi sipil. Mau berkuasa melalui demokrasi (pilpres), monarkhi bahkan Khilafah sekali pun wajib hukumnya menancapkan pengaruh kuat di institusi militer.
Peran negara Adidaya tak bisa diabaikan begitu saja. Apalagi di negara yang mayoritas Muslim. Jika tak mampu menjatuhkan dengan huru hara massa, krisis moneter (kasus lengsernya pak Harto), maka lewat jalur kudeta.Â
Jika kudeta tak mempan, bisa melalui pembunuhan, entah ditembak, diracun atau seolah-olah mengalami kecelakaan. Muhammad Zia ul Haq adalah contoh nyata bagaimana hidupnya harus berakhir karena pesawat yang ditumpanginya mengalami kecelakaan.
Menurut Kepala ISI Biro Afghanistan, Mohammad Yousaf, kecelakaan itu terjadi karena sabotase. "Ia mengaku tak tahu siapa yang bertanggung jawab, namun Yousaf menegaskan Kementerian Luar Negeri AS berperan dalam 'menutupi' kasus ini" tulis laman Liputan6.com (10/9/2018).
Presiden Erdogan mampu bertahan hingga kini karena kelihaiannya menyiasati "kemauan" Rusia, Amerika serikat dan sekutunya. Sementara almarhum Mohammed Mursi belum mampu seperti itu.
Perlu diketahui juga, Mursi dengan Ikhwanul muslimin (IM) dipandang sebagai "pesaing" ideologi oleh kerajaan Arab Saudi. Contoh nyata Kemenlu Saudi di hari wafatnya Mursi masih sempat-sempatnya merilis infografik bahwa IM adalah organisasi teroris yang bekerja untuk merusak Islam.