Pada Akhir bulan oktober yang lalu, di negeri kita diperingati tiga peristiwa besar. Pertama, hari Santri Nasional (HSN). Kedua, Sumpah pemuda dan Ketiga, pemerintah menggratiskan kendaraan yang melintasi jembatan Suramadu. Â Hari santri tahun ini sedikit ternoda dengan kecerobohan beberapa pemuda di Garut, Jawa barat. Mereka ini sampai gelap mata membakar bendera berlafadz tauhid. Singkat cerita, kasus ini sudah ditangani aparat kepolisian.
Tulisan ini fokus pada moment Hari sumpah pemuda. Siapakah yang layak disebut "Pemuda"? "Pemuda adalah Warga Negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16 (enam belas) sampai 30 (tiga puluh) tahun". begitulah bunyi Pasal 1 ayat 1, UU Kepemudaan No 40 tahun 2009.
Memasuki bulan November, saya mengakhiri yang namanya fase "pemuda". Pasalnya menginjak usia yang ke 31. Sepanjang menapaki usia 16 sampai dengan 30 tahun, ada salah satu "role model" (baca: teladan) yang menginspirasi perjalanan hidup saya.
Dialah M. Natsir (Penggagas Mosi integral dan Perdana Menteri RI). Mengapa harus beliau? Pertama, mempublikasikan karya tulis pada usia 21 tahun. Kedua, kontribusinya di dunia dakwah. Di dunia kepenulisan, awal mula Pak Natsir mempublikasi tulisan, umumnya berbahasa Belanda dan Indonesia. Banyak membahas tentang pemikiran Islam, budaya, hubungan antara Islam dan politik, dan peran perempuan dalam Islam. Karya-karya beliau selanjutnya banyak yang ditulis dalam bahasa Inggris, dan lebih terfokus pada politik, pemberitaan tentang Islam, dan hubungan antara umat Kristiani dengan Muslim. Dikutip dari laman persis.or.id, Ajip Rosidi dan buya Hamka menyebutkan bahwa tulisan-tulisan M. Natsir telah menjadi catatan sejarah yang dapat menjadi panduan bagi umat Islam.
Kiprah Pak Natsir di dunia kepenulisan inilah yang memotivasi saya. Meniru Pak Natsir, sebelum menginjak usia yang ke 20 tahun, artikel berjudul "100 tahun buya Hamka" dimuat dalam buletin jumat milik Muhammadiyah kota Malang. Saya ingat betul, dimuat disitu mendapat honorarium Rp 40 ribu. Jika saya kirim ke media milik kompetitornya, pasti tidak dimuat. Karya tulis di media kompetitor baru dimuat tahun 2016. "Apa nama medianya?" tanya si Fulan. Saya jawab, "Majalah Tebuireng. Insya allah, satu artikel akan dimuat di majalah Sidogiri."
Beralih ke dunia dakwah, Pak Natsir perlu ditiru para pemuda Muslim. Merintis jalan di dunia dakwah beliau mulai dengan belajar agama di Madrasah diniyah yang dipimpin Tuanku mudo amin. Kemudian belum genap usia 25 tahun, beliau menjadi ketua Jong islamieten bond Bandung.
Khusus dunia dakwah, saya belum bisa berdiri di podium masjid dan tabligh akbar seperti yang beliau lakukan. Menjadi orator apalagi Muballigh itu susah, tidak sekedar keluarkan dalil ini dan itu. Perlu merenungi Surah al-Baqarah ayat 44 : "Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri...".
Atas dasar ayat tersebut, sementara ini saya menekuni dakwah bil qolam. Entahlah ini tulisan ke berapa yang dimuat di laman atau situs Islam. Eksistensi situs Islam tidak bisa dipandang sebelah mata. Sampai-sampai pada penghujung tahun 2016 lalu, Kemkominfo memblokir 11 situs Islam tanpa indikator dan landasan hukum yang jelas.
Terakhir sebelum menutup tulisan ini. Perlu disadari pengelola media Islam bahwa sekarang memasuki Era Disrupsi. Disrupsi turut membawa dampak kepada dunia kepenulisan. Artikel, Esai atau makalah berganti tampilan menjadi infografis. Warga net cukup menyimak 1 halaman infografis, maka dia cepat paham tanpa berlama-lama menelaah isi artikel 3-4 halaman bahkan makalah 13-20 halaman. Di jagat instagram, laman Harakah islamiyah memulai dakwah berformat infografis. Sementara di jagat facebook, sepak terjang Mu'allimin Jogja dan ponpes Sidogiri, Pasuruan patut diapresiasi. Wallahu'allam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H