Mohon tunggu...
Georgius SegunarPadel
Georgius SegunarPadel Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

berani untuk memulai

Selanjutnya

Tutup

Diary

Keluh dan Mimpi Bocah Kampung

20 April 2021   10:26 Diperbarui: 20 April 2021   10:41 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Part 1 (Situasi dan pengalaman Masa Kecil).

Saya terlahir dari sebuah keluarga kecil yang sederhana, dari dusun kecil di sebuah desa yang kecil yang ada di pulau Flores. Kehidupan di desa kami begitu memprihatinkan. Tanah gersang tak berpenghasilan, airnya asin dan tak punya listrik. Untuk dapat bertahan hidup, masyarakat di desa kami memilih untuk berternak dan mengadu nasib ke desa-desa tetangga dengan menjadi pekerja buruh tani harian yang sering disebut dengan SK (sore kasih). Gaji yang dihasilkan dari SK hanya berkisar 25-50 ribu per harinya yang menurut saya masih sangat jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup harian. Mereka sudah mulai berangkat kerja sekitar pukul 05.30 dan baru kembali tiba di rumah sekitar pukul 18.00. Tidak mengherankan lagi apabila di siang hari banyak rumah-rumah tanpa orang tua. Hanya anak-anak yang berkeliaran kesana-kemari. Setiap hari mereka menempuh perjalanan sekitar 3-5 km dengan berjalan kaki dan menyebrangi sebuah sungai tanpa jembatan. Terkadang mereka harus jatuh dan terbawa arus akibat banjir. Panas, terik, hujan tidak mereka hiraukan. Cacian dan hinaan seringkali mereka dapatkan. Tetapi semua itu mereka lalui dengan senyuman dan tawa yang sering terdengar di jalan-jalan yang mereka lalui. Semuanya mereka pertaruhkan demi hidup dan kecintaan mereka pada anak-anak mereka.

Meskipun keadaan ekonomi dan situasi daerah kami yang demikian, semua anak-anak di desa kami memiliki pendidikan yang baik. Kehidupan kami memang serba kekurangan tetapi tidak menjadi penghalang bagi kami untuk meraih cita-cita. Kami belajar di bawah nyala pelita yang redup. Kami belajar dengan cepat dan dipaksa cepat tidur agar bisa mengirit minyak pelita yang harganya sangat mahal. Setiap pagi kami harus membakar arang untuk menyetrika seragam sekolah sehingga terlihat rapi. Kami minum dan mandi dari air-air sumur yang rasanya begitu asin. Supaya kulit kami tidak terlihat kusam kami selalu memberi nutrisi agar kulit kami tampak lebih cerah. Oh ...ya, jangan pernah berpikir bahwa untuk menutrisi kulit kami menggunakan hand and body, body lotion, ataupun skin care dan sebagainya. Kami cukup menggunakan beberapa tetesan minyak goreng hasil curian dari dapur. Setiap ke sekolah kami harus membawa sebotol atau sejirgen air untuk keperluan MCK.

Sepulang sekolah, gerombolan anak-anak berbaris di sepanjang jalan bukan untuk meminta mengemis yah, tetapi bersama-sama menggiring kambing dombanya menuju perbukitan yang ada di sekitar desa kami. (Tak perlu takut bahwa jalanan kotor yah,karena jalanan di desa kami masih tanah) Di sanalah tempat bermain kami. Kami bermain sambil masing-masing menggembalakan ternaknya. Terkadang kami menggiring gembalaan kami sampai ke puncak bukit agar kami bisa memandang indahnya pemandangan desa-desa seberang yang hijau. Kami juga terkadang bermimpi punya sawah-ladang yang hijau permai seperti yang kami lihat. Kami ingin melihat kambing-domba kami menyantap rumput hijau sambil berdiri di sebuah aliran air yang jernih. Kami berkhayal akan mandi dan memancing di sebuah aliran air seperti pengalaman Budi dan Ani yang sering kami baca di buku Bahasa Indonesia yang ada di sekolah. Itulah mungkin mimpi terbesar yang ingin kami wujudkan di masa itu.

Akan tetapi mimpi tidak membuat kami terus berkhayal dan tidak menikmati situasi daerah kami. Kami selalu ceria dan bersendagurau sambil menggiring ternak kami. Ada yang berkelompok dan ada juga yang menyendiri. Situasi tidak membatasi kami untuk bermimpi besar. Ketika gembala, ada sebagian yang membawa buku untuk sekedar baca-baca, ada yang mengerjakan tugas dan ada pula yang belajar untuk mempersiapkan ujian. Sungguh ini pengalaman yang begitu unik yang kurasakan saat kecil dan mungkin tidak akan pernah kujumpai pengalaman serupa di masa sekarang. Semua itu kami lakukan demi mimpi besar kami untuk menjadi orang-orang yang sukses dan agar kami bisa mengubah kehidupan di desa kami. Kami miskin dan sengsara bukan karena kami malas, tetapi karena pembangunan yang tidak merata.

Masa kecil saya dan teman-teman masa kecil mungkin tidak semenarik kehidupan anak-anak di pedesaan zaman ini. Mungkin orang berpikir bahwa kami dipekerjakan oleh orang tua kami. Tidak… itu semua kewajiban yang harus kami lakukan demi membantu memenuhi kebutuhan hidup kami. Kami sadar karena kami hidup dalam kekurangan makanya kami bekerja. Itu sebuah pelajaran dan didikan yang harus kami lalui. Tidak hanya sekedar itu saja, tetapi pengalaman itu memberi pelajaran yang cukup berarti bagi kami. Dari sana kami banyak belajar tentang arti hidup dan arti rasanya bersyukur. Sekecil apapun yang kami terima selalu kami syukuri. Karena bagi kami, untuk mendapatkan sesuatu yang kecil, kami harus mengerahkan tenaga yang luar biasa. Kami tidak hanya sekedar berjuang tetapi kami juga survive. Artinya tidak ada yang bisa kami dapatkan dengan mudah. Semua butuh kerja keras dan pengorbanan. Kami memang tidak punya banyak boneka yang mahal, tapi kami punya kelereng yang bisa membuat kami mengerti bahwa hidup itu selalu bergulir seperti kelereng. Kami tidak pernah tahu Mobile Legend/Play Station tetapi kami punya petak umpet yang mengajarkan kami bahwa mencari dan menemukan sesuatu itu tidak pernah mudah. (Nantikan cerita lanjutan di part-part berikutnya yah!!!!!)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun