Mohon tunggu...
Fadli Eko Setiyawan
Fadli Eko Setiyawan Mohon Tunggu... -

Inilah saya,,,(Anonim)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Alkisah Sebuah Batu Gunung (Bag. 01)

28 Januari 2012   15:59 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:20 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SIANG itu di hutan belantara di badan sebuah gunung yang besar dan amat tinggi terdapat batu besar yang keluar dari gunung akibat letusan yang sangat dahsyat beberapa tahun lalu. Si batu besar yang berwarna hitam legam dan di sekeliling sisi badan badannya itu hijau limut tumbuh segar.

Di sebelahnya sang batu gunung itu terdapat sebuah batu yang amat mungil. Mungkin diameternya 100 lebih kecil dari si batu gunung itu. Asalnya sebenarnya sama-sama dari letusan gunung berapi itu, sementara lelehan lava sangat panas tidak membawanya pergi melintasi udara luar hingga bisa jatuh beratus-ratus kilometer. Tapi, karena ada sebuah unggakan tanah keras tidak ikut lumer dengan lava neraka itu, malah tersangkut di antara cekungan tanah padat seperti padas.

Sepertinnya si batu gunung hebat itu sedang murung. Nampaknya sedang meratapi keberadaannya yang tak dianggap oleh para pendaki yang sering bertualang di gunung tertinggi itu. Body gempalnya itu sering dilalui oleh para pendaki yang tak jarang menginjak dan sebagai tumpuan kaki melintasi tanah gunung yang becek dan penuh lumpur--agar si pendaki tak terpeleset jatuh ke jurang yang jaraknya hanya beberapa kaki dekat batu tersebut.

Sementara si batu yang kecil selalu tersorot sinar matahari yang menembus hutan belantara itu dari sela-sela dedaunan dan belukar yang tinggi-tinggi sekali. Warnanya tampak cerah seperti kilauan batu berharga ketika pagi hingga sore hari matahari menyinarinya. Seperti berseri-seri si batu mungil tersebut. Tak segan-segan para pendaki pun menyanjungnya setiap kali melalui trek itu. Si batu kecil itu sebenarnya biasa-biasa saja ketika pendaki menyanjungnya, namun karena batu gunung yang nampak beda itulah selalu ia disenangi setiap pendaki.

Batu besar itu pun berkata, "Hai kecil, mengapa kamu seperti mengejekku dengan senyumanmu itu? Apa karena kamu berkilau, sehingga menghinaku yang selalu diinjak oleh semua pendaki yang melintas?"

(Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun