Mohon tunggu...
Fachry Bachmid
Fachry Bachmid Mohon Tunggu... Mahasiswa - Legal Analysis

menganalisa dan menulis opini isu terkini.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Justice in Court: Keyakinan Hakim Dalam Memutus Perkara Pidana

9 Agustus 2023   12:41 Diperbarui: 9 Agustus 2023   12:57 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Lembaga peradilan merupakan institusi Negara yang mempunyai tugas pokok untuk memeriksa, mengadili, memutuskan dan menyelesaikan perkara-perkara, yang diajukan oleh warga masyarakat.  Penyelesaian perkara melalui lembaga peradilan hanya akan berjalan dengan baik, apabila semua pihak   yang terlibat di dalamnya, baik pihak-pihak yang berperkara maupun hakimnya sendiri mengikuti aturan  main (rule  of  game) secara jujur sesuai tertib peraturan yang ada. 

Dalam membuktikan secara yuridis untuk mencari kebenaran tidaklah sama. Kebenaran yang hendak dicari hakim dalam menyelesaikan    suatu perkara, dapat berupa kebenaran formil maupun kebenaran materiil yang keduanya termasuk dalam lingkup kebenaran hukum yang bersifat kemasyarakatan.

Dalam praktik peradilan pidana, mayoritas hakim mengakui dan membenarkan bahwa dalam perkara pidana yang hendak dicari hakim adalah kebenaran Formil yang hanya didasarkan kepada bukti-bukti yang diajukan di depan sidang pengadilan tanpa harus disertai keyakinan hakim. Oleh  karena  itu  dalam mencari dan menemukan kebenaran, hakim terikat dengan keterangan dan bukti-bukti Formilyang  terungkap dalam persidangan.

Meskipun yang dicari hakim dalam perkara pidana adalah kebenaran Formil, tetapi dalam implementasinya dimungkinkan ada penyesuaian-penyesuaian sesuai dengan kebutuhan. Dalam   praktik peradilan, hakim perlu melihat kasusnya terlebih dahulu apakah kedudukan pihak-pihak yang  berperkara seimbang (sebanding) ataukah tidak. Pengertian seimbang dilihat dari berbagai faktor, seperti tingkat pendidikan, ekonomi dan status sosialnya. 

Dalam memeriksa dan mengadili suatu  perkara yang kedudukan para pihaknya seimbang, memang kebenaran Formilyang dicari hakim dan sistem pembuktian positiflah yang diterapkan.   

Tetapi dalam kasus-kasus tertentu, di mana kedudukan pihak-pihak yang berperkara tidak seimbang atau ada kesenjangan yang cukup signifikan, maka hakim akan berupaya mengorek lebih dalam dan  mengkaji peristiwanya secara lebih seksama. Dengan demikian diharapkan putusan yang dijatuhkan nantinya dapat  memenuhi rasa keadilan.

Kebenaran Materiil ini baru muncul apabila ada bantahan dari pihak lawan. Dalam hal mpenuntut umum yang mengajukan saksi, maka keterangan dari saksi tersebut terlebih dulu akan dihubungkan   dengan saksi darim pihak tersangka serta alat-alat bukti lainnya. Sehingga dalam proses tersebut  secara tidak langsung juga berupaya menemukan kebenaran Materiil.

Adapun keyakinan hakim yang harus didapatkan dalam proses pembuktian untuk dapat menjatuhkan pidana yaitu : 

  • Keyakinan bahwa telah terjadi tindak pidana sebagaimana yang didakwakan oleh JPU, artinya  fakta-fakta yang didapat dari dua alat bukti itum (suatu yang obyektif) yang membentuk  keyakinan hakim bahwa tindak pidana yang didakwakan benar-benar telah terjadi. Dalam   praktik disebut bahwa tindak pidana yangm didakwakanm JPU telah terbukti secara sah dan   meyakinkan. Secara sah maksudnya telah menggunakan alat-alat bukti yang memenuhi    syarat minimal yakni dari dua alat bukti. Keyakinan tentang telah terbukti tindak pidana  sebagaimana didakwakan JPU tidaklah cukup untuk menjatuhkan pidana, tetapi   diperlukan pula dua keyakinan lainnya.
  • Keyakinan tentang terdakwa yang melakukannya, adalah juga keyakinan terhadap sesuatu yang  objektif. Dua keyakinan itu dapat disebut sebagai hal yang objektif yang disubyektifkan. Keyakinan adalah sesuatu yang subyetif yang didapatkan hakim atas sesuatu yang obyektif.
  • Keyakinan tentang terdakwa bersalah dalam halm melakukan tindak pidana, bisa terjadi  terhadap dua hal/unsur, yaitu pertama hal yang bersifat objektif adalahm tiadanya alasan    pembenar dalam melakukan  tindak pidana. Dengan tidak adanya alasan pembenar  pada  diri  terdakwa, maka hakim yakin kesalahan terdakwa. Sedangkan keyakinan hakim tentang hal  yang  subyektif adalah keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa yang dibentuk atas dasar-dasar hal mengenai diri terdakwa. Maksudnya, adalah ketika melakukan tindak pidana pada diri   terdakwa tidak terdapat alasan pemaaf. Bisa jadi terdakwa benar melakukan  tindak pidana  dan  hakim yakin tentang itu, tetapi setelah mendapatkan fakta-fakta yang menyangkut keadaan     jiwa terdakwa dalam persidangan, hakim tidak terbentuk keyakinannya tentang kesalahan  terdakwa melakukan tindak pidana tersebut.

Dengan    demikian,    maksud dilakukannya    kegiatan    pembuktian sebagaimana  diatur  dalam  Pasal  183 KUHAP   adalah   untuk   menjatuhkan atau    mengambil    putusan in casu menarik   amar  putusan   oleh   majelis hakim.  Pembuktian  dilakukan  terlebih dahulu dalam usaha mencapai derajat keadilan  dan  kepastian  hukum  yang setinggi-tingginya dalam putusan hakim. Sehigga pembuktian tidak hanya   ditujukan   untuk   menjatuhkan pidana     saja     berdasarkan     syarat minimal   dua   alat   bukti   yang   harus dipenuhi  dalam  hal  pembuktian  untuk menjatuhkan pidana.

keyakinan hakim tetap diperlukan dalam mengambil keputusan, meskipun penggunaan keyakinan   hakim dalam perkara pidana tidak ada larangannya, tetapi bahwa hakim tidak dibenarkan dalam    memutuskan perkara pidana hanya mendasarkan pada keyakinannya saja dan mengabaikan bukti-bukti formil yang diajukan para pihak di persidangan, artinya dalam mengambil keputusan hakim harus yakin  dengan keputusan dan berdasarkan alat bukti di persidangan.

Prof. Eddy O. S. Hiariej mengatakan dalam tulisan Prof. Satjipto Rahardjo berjudul "Determinasi Suatu Hukum" ada satu kalimat dari Prof. Satjipto bahwa kita hidup dalam hukum modern sayangnya hukum modern itu tidak bisa menjamin bahwa yang menang dalah yang benar dan yang kalah adalah yang salah "Law is the of Interpetation" tergantung argumentasi yang kita bangun, oleh Karena itu konteks ilmu kejahatan yang ditulis oleh Goldstein maupun Peter Hoefnagels ada yang namanya "Area Not To Enforce" (daerah yang tidak dapat dijadikan kenyataan perkara) jadi kita tidak bisa hanya berprasangka sebab dalam perkara pidana yang dipegang teguh adalah "In Criminalibus, Probationes Beden Esse Luce Clariores" (bahwa dalam perkara pidana bukti-bukti harus lebih terang daripada cahaya).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun