Belanda membuat Balai Poestaka pada 1908. Tujuannya sederhana: mencetak bacaan netral bagi para pelajar dan masyarakat yang telah mengenyam pendidikan ala Belanda. Netral dalam arti tidak anti-penjajahan.Â
Lembaga penerbitan itu pun melahirkan penulis-penulis yang karyanya netral. Sebut saja Nur Sutan Iskandar (Salah Pilih), Sutan Takdir Alisjahbana (Layar Terkembang), dan Marah Roesli (Siti Nurbaya).
Dengan modelnya yang netral, Balai Poestaka menjadi wadah berkembangnya karya sastra Indonesia klasik berbahasa melayu, dalam bentuk novel dan puisi. Karya yang kemudian merawat bahasa Indonesia.
Balai Poestaka juga melahirkan Wilfridus Josef Sabarija Poerwadarminta. Dia adalah pembuat buku Kamus Bahasa Indonesia pertama. Bukunya terbit tahun 1956 dan kemudian dicetak ulang hingga 1980-an.
Modalnya untuk membuat kamus tidak main-main: dia menguasai banyak bahasa asing dan dia membaca banyak literatur sastra, di antaranya novel-novel tersebut di atas. Prinsip yang dipakainya dalam proses membuat kamus sederhana saja: kalau sebuah kata telah dipakai oleh lima penulis pada lima tempat, maka kata itu adalah kata Indonesia. Kata yang terkumpul kemudian disusun berdasarkan abjad dengan menggunakan kartu. Prinsip yang dipakai: sederhana dan praktis.
Setelah kata tersusun, tibalah pada bagian tersulit dalam membuat kamus: memberi arti pada setiap kata dengan kalimat yang mudah dipahami. Terkadang, Poerwadarminta menghabiskan satu hari hanya untuk mengartikan satu kata. Tapi begitulah, Poerwadarminta bekerja keras hingga tersusunlah Kamus Bahasa Indonesia.
Referensi: Dari Buku ke Buku Sambung Menyambung Menjadi Satu, karya P. Swantoro.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H