Pada awal masa orde baru, koran-koran pro-PKI ditutup. Hanya koran milik tentara, nasionalis, agama, dan kelompok independen yang diizinkan terbit. Satu diantara koran yang diizinkan terbit itu adalah koran yang dianggap mewakili agama Kristen: Sinar Harapan, selain Kompas.
Kini, setelah 54 tahun, koran yang melahirkan jurnalis Panda Nababan dan penulis Soe Hok Gie itu akhirnya tutup. Artikel perpisahan pun ditulis Daud Sinjal, Pemimpin Umum sekaligus Ketua Dewan Redaksi Sinar Harapan. Berikut penggalannya:
"...Kepada para narasumber yang setia, kami menyampaikan pamit seraya meminta maaf karena Sinar Harapan sudah tidak terbit lagi pada 2016. Kami berterima kasih dan bersyukur mempunyai teman-teman yang telah bersama hadir di Sinar Harapan sejak penerbitan pertamanya dan berlanjut pada penerbitan keduanya.
Kami berterima kasih sekaligus memohon maaf kepada penyumbang tulisan dan gambar, serta kelompok pemerhati dan pemikir yang kreatif yang secara sukarela mengasuh rubrik-rubrik khusus. Mohon maaf dan terima kasih kami sampaikan pula kepada para mitra kerja sama, para pengiklan, dan penyalur Sinar Harapan. Tentunya pula terima kasih dan mohon maaf kepada segenap pembaca setia Sinar Harapan. Kiranya segala yang terbaik berlangsung pada 2016."
Jatuh-Bangun Sinar Harapan
Koran Sinar Harapan terbit pertama kali pada 27 April 1961 di sore hari. Bermodal 26 karyawan, koran itu berhasil meraup oplah 7.500 eksemplar pertama kali terbitnya.
Selanjutnya, Sinar Harapan tumbuh menjadi koran besar di atas Kompas. Dikelola dengan manajemen yang baik di bawah kepemimpinan H.G. Rorimpandey, koran Sinar Harapan menjadi koran teratas dengan berita-berita hebat dan fasilitas mewah untuk wartawannya: rumah, mobil, liburan ke puncak, dan fasilitas kesehatan.
Beberapa berita hebat yang dihasilkan Sinar Harapan di antaranya: wawancara khusus bersama Pramoedya Ananta Toer di Pulau Buru, bocoran RAPBN 1973-1974 (Sinar Harapan mendapatkan teguran keras dari pemerintah), korupsi di Pertamina, dan kebijakan devaluasi pemerintah.
Terkait berita kebijakan devaluasi pemerintah, Sinar Harapan akhirnya dibredel pada 1986 saat oplahnya telah mencapai 250.000 eksemplar dan jumlah karyawannya 451 orang. Berbeda dengan Jacoeb Oetama, pemimpin Kompas, yang memilih kompromi dengan pemerintah, Rorimpandey 'tak mau kompromi. "Kalau dibredel, itu sudah risiko," katanya.
Terbit Kembali Sebelum Akhirnya Terbenam
Pada 2001, saat ruh reformasi bertiup ke tubuh Indonesia, pembredelan Sinar Harapan dicabut. Koran sore itu pun kembali menggeliat -setelah 15 tahun mati suri- dengan nama Suara Pembaruan sebelum kembali memakai nama Sinar Harapan.
Jurnalis, distributor koran, agen iklan, dan pihak-pihak dalam industri koran menyambut baik hidupnya kembali Sinar Harapan. Koran itu pun berkembang mengikuti era yang ada. Edisi digital juga diterbitkan: sinarharapan.co.   Â
Namun apa daya, di akhir tahun 2015, manajemen dan investor memilih kebijakan untuk mundur dari industri koran. Sinar Harapan tutup. Tidak menguntungkan menjadi alasan utama. Â