Pembaharuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah menjadi kebutuhan mendesak, mengingat hukum yang digunakan saat ini merupakan adaptasi dari Herzien Indonesisch Reglement (HIR) yang dirancang pada tahun 1926 oleh Belanda. Meskipun pembaharuan KUHAP telah dimulai sejak 2009-2012, hingga saat ini belum ada progres yang signifikan. Sebaliknya, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) telah diperbarui dengan disahkannya UU No. 1 Tahun 2023. Melihat perkembangan ini, ada sejumlah alasan mengapa pembaharuan KUHAP perlu disegerakan.
Pertama, relevansi penggunaan KUHAP dalam konteks masyarakat saat ini sudah tidak relevan. KUHAP yang diadaptasi dari HIR tidak lagi mencerminkan dinamika masyarakat Indonesia modern. Kebutuhan akan hukum acara pidana yang lebih sesuai dengan perkembangan zaman menjadi sangat penting, terutama untuk menghadapi tantangan baru dalam penegakan hukum yang lebih kompleks. Pembaharuan KUHAP harus memperhitungkan kondisi sosial dan teknologi saat ini, yang tidak tercermin dalam HIR. Contohnya saja seperti pada pasal 184 ayat (1) yang belum menjelaskan secara eksplisit mengenai bukti digital dan elektronik
Kedua, KUHAP yang ada lebih menekankan pada keadilan prosedural. Konsep ini, sesuai dengan pandangan John Rawls, berfokus pada proses yang adil tanpa memperhatikan konteks individu. Semua pihak diperlakukan sama dalam proses hukum, namun pendekatan ini tidak selalu memperhatikan kebutuhan spesifik atau hak-hak individu. Kasus Sinta, misalnya, seorang perempuan yang membunuh dua begal dalam rangka mempertahankan diri, menjadi contoh bagaimana keadilan prosedural ditegakkan tanpa memperhatikan keadilan substantif. Ronald Dworkin menegaskan bahwa keadilan substantif penting karena mempertimbangkan situasi dan hak individu dalam setiap kasus. KUHAP baru perlu mencerminkan keseimbangan antara kedua jenis keadilan ini.
 Pandangan Prof. Satjipto Rahardjo dalam buku Biarkan Hukum Mengalir juga relevan di sini. Menurutnya, hukum harus diciptakan untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Artinya, hukum harus bersifat fleksibel dan adaptif terhadap perubahan masyarakat. KUHAP yang baru harus mencerminkan perubahan ini sehingga penegakan hukum dapat dilaksanakan lebih manusiawi dan berkeadilan.
Salah satu perbedaan signifikan dalam draf RKUHAP adalah penggabungan penyelidikan dan penyidikan dalam proses hukum pidana. Tujuan dari penggabungan ini adalah menyederhanakan proses serta meningkatkan pengawasan, mengingat banyak kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme terjadi di tahap penyelidikan. Namun, tantangan lain muncul karena undang-undang lain masih mengakui proses penyelidikan. Apabila penghapusan penyelidikan diterapkan di KUHAP, maka akan terjadi ketidakselarasan dengan undang-undang lainnya. Lalu ditiadakan nya tahapan penyelidikan membuat semua laporan akan dilakukan penyidikan sehingga proses tersebut akan menambah beban polri yang nantinya akan berpengaruh pada efektivitas kinerja polri itu sendiri. Meskipun begitu pembaharuan KUHAP juga diharapkan dapat memperbaiki instansi penegak hukum.
Langkah ini diperlukan untuk memastikan penegakan hukum yang lebih transparan. Dengan mengatasi masalah di tingkat fundamental, seperti yang ditawarkan RKUHAP, diharapkan penegakan hukum di Indonesia bisa lebih efisien dan berkeadilan.
Melihat manfaat yang dapat diperoleh masyarakat dari penegakan hukum yang lebih adil, pemerintah perlu segera membahas dan mengesahkan RKUHAP. Langkah ini harus didasarkan pada evaluasi mendalam terhadap situasi saat ini dan memastikan bahwa hukum yang berlaku mencerminkan keadilan substantif, yang berfokus pada kepentingan masyarakat luas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H