Mohon tunggu...
Humaniora

"Pak Ogah" Tak Ragu Arah

13 November 2016   19:09 Diperbarui: 13 November 2016   19:16 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mungkin diantara kita sudah banyak mengenal istilah “Pak Ogah”, Pak Ogah adalah sebutan bagi bagi seseorang yang membantu gerak lalu – lintas pada pertigaan atau gang – gang sempit di antero kota. Pekerjaan ini banyak diminati oleh sebagian orang karena hanya dengan waktu singkat, Pak Ogah bias mendapat uang yang lumayan. Bayangkan jika satu mobil yang mendapatkan jasanya untuk melintas memberi uang seribu rupiah, berapa rupiah yang Pak Ogah dapat selama setengah hari? Oleh karena itu tidak sedikit masyakarakat yang tidak menyukai para Pak Ogah.

Tetapi Pak Ogah tidak seburuk yang anda semua bayangkan, karena kadang Pak Ogah bias menggantikan tugas POLISI sebagai pengatur lalu lintas. Menurut pengalaman saya, ada suatu ketika terjadi hujan deras dan disebuah perempatan jalan raya, lampu lalu lintasnya mati. Para pengendara yang saling tidak mau mengalah membuat kemacetan yang panjang hingga hampir setengah kilometer, tidak ada satupun polisi yang mau mengurai kemacetan tersebut dan tiba – tiba datang 1 sepeda motor yang dinaiki 2 orang berpakaian lusuh dan membawa peluit, ternyata mereka adalah Pak Ogah yang datang dari pertigaan yang tak jauh dari situ. Dengan sigap Pak Ogah itu mengurai kemacetan tersebut walau sudah terlanjur mengular hingga jauh, membutuhkan waktu 1 jam hingga kendaraan bias berjalan dengan normal.

Tetapi Pak Ogah yang bekerja keras tersebut tidak mendapat uang sedikitpun karena para pengemudi kendaraan terlalu sibuk menyelamatkan diri dari kemacetan daripada mengambil uang untuk diberi pada Pak Ogah. Saya salut dengan apa yang dilakukan oleh Pak Ogah tersebut, mereka mau mengerjakan yang bukan menjadi tugas mereka untuk membantu orang lain yang membutuhkan, jika mereka tidak datang mungkin kemacetan tersebut tidak akan terurai dengan cepat. Walau pekerjaan mereka mungkin terlampau mudah untuk mendapatkan uang tetapi derajat mereka lebih tinggi daripada pengemis dijalanan yang hanya bias meminta tanpa bekerja, hanya bermodal muka melas agar orang lain tergerak hatinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun