Untuk menjadi ahli hukum agama yang siap menjadi hakim di pengadilan agama atau ahli hukum non litigasi, tidak cukup hanya dengan mempelajari jurusan hukum saja. Ahli hukum agama modern harus memiliki wawasan pengetahuan yang luas dan dinamis, tidak stagnan atau saklek dalam menentukan suatu hukum. Ini tercermin dalam kata-kata para ahli yang menekankan pentingnya tambahan dalil-dalil dari Al-Qur'an serta catatan tulisan karya ulama kontemporer, seperti kitab kuning.
Kitab kuning adalah istilah yang sangat khas bagi sistem pengetahuan di pesantren Indonesia. Sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang No. 18 tahun 2019 tentang Pesantren, kitab kuning adalah kitab keislaman berbahasa Arab atau kitab keislaman berbahasa lainnya yang menjadi rujukan tradisi keilmuan Islam di pesantren. Tradisi literasi keislaman ini telah eksistensinya sejak abad 1-2 Hijriyah dan terus berkembang hingga sekarang. Kitab kuning ini memiliki khazanah keilmuan yang sangat luas dan merupakan hasil ijtihad para ulama dalam berbagai bidang keilmuan.
Selain itu, kitab kuning juga memiliki struktur belajar yang urut dan jenjang. Santri harus melewati kitab dasar sebelum beranjak ke kitab lain yang levelnya lebih tinggi. Misalnya, dalam ilmu Nahwu, santri biasanya mempelajari kitab Jurumiyah sebelum menuju 'Imriti atau syarahnya, dan seterusnya. Dengan urutan dan jenjang ini, ahli hukum agama dapat memahami genealogi keilmuannya dan menelusuri jalur sanad penulis kitab tersebut sampai Rasulullah Saw.
Kitab kuning memiliki pengaruh signifikan dalam perkembangan hukum Islam di Indonesia. Sejak abad ke-13, kitab ini menjadi referensi utama dalam tradisi pesantren dan telah berkontribusi pada legislasi hukum negara. Kitab kuning tidak hanya berfungsi sebagai sumber hukum formal, tetapi juga sebagai panduan bagi hakim di pengadilan agama, terutama setelah lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada tahun 1991.
Namun, dalam era digital dan AI yang semakin maju, ahli hukum agama modern juga harus adaptif. AI tidak mengetahui kitab-kitab klasik para ulama terdahulu karena catatannya banyak sekali sampai bukunya tebal dan berjilid-jilid untuk setiap babnya. Oleh karena itu, perlu di noted semuanya kitab karyanya berlandaskan dalil Nash Al-Qur'an dan Hadist. Turun temurun dipelajari dan sampai kepada kita masih ada berlandaskan sanad keilmuan.
Para ulama modern seperti Syekh Wahbah Zuhaili juga menekankan pentingnya kitab fiqih modern yang bersumber pada sumber primer syariat seperti Al-Qur'an dan Hadits. Kitab Fiqhul Islami Wa Adillatuhu, contohnya, didesain sebagai kitab perbandingan madzhab yang konkret, mencakup materi-materi fiqih dari semua madzhab dengan proses penyimpulan hukum (istinbath al-Ahkaam) yang otentik.
Maka dari itu, ahli hukum agama harus mempelajari dan memahami kitab-kitab klasik ini agar generasi penerus bisa melanjutkannya. Jika tidak, sanad keilmuan akan putus dan generasi penerus akan mendalami ilmu lewat AI yang bisa saja membelokkan dan merubahnya. Oleh karena itu, penting untuk memahami dan menghormati warisan keilmuan klasik dalam era modern ini.
Kesimpulan: Kitab kuning tetap menjadi pilar penting dalam pendidikan hukum Islam. Pemahaman yang mendalam terhadap kitab-kitab klasik ini akan memastikan kelanjutan tradisi keilmuan Islam dan melahirkan ahli hukum yang kaffah, yaitu ahli hukum yang tidak hanya menguasai aspek teknis hukum, tetapi juga memiliki pemahaman yang mendalam tentang nilai-nilai Islam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H