Globalisasi merupakan fenomena yang sudah tidak dapat dibendung lagi. Semua negara di dunia telah terdampak fenomena ini, bahkan Korea Utara yang terkenal sebagai negara paling tertutup juga telah mencicipi rasa globalisasi. Negara berkembang seperti Indonesia juga ikut terdampak fenomena globalisasi. Bahkan pengaruh dari globalisasi di Indonesia hampir menjangkau seluruh aspek kehidupan masyarakat, salah satunya adalah fashion.
Sekarang ini fashion di Indonesia sedang dipengaruhi oleh globalisasi. Hal tersebut dapat terlihat dari pakaian sehari-hari yang digunakan oleh orang di sekitar kita. Anak muda khususnya, mereka lebih senang memakai baju yang benuansa asing daripada baju dalam negeri. Kecenderungan anak muda tersebut dipengaruhi oleh media sosial yang sering mereka gunakan.
Algoritma yang ditunjukkan oleh media sosial milik anak muda sering menampilkan bagaimana orang luar negeri berpenampilan. Mereka menganggap "keren" dan "kekinian" pakaian yang dipakai oleh orang luar tersebut, sehingga mereka mencoba untuk menirunya. Namun pakaian yang dipakai oleh orang luar tersebut cenderung tidak diproduksi didalam negeri, sehingga banyak anak muda yang memilih meng-impor pakaian dari luar negeri. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang mengimpor melalui jalur illegal. Inilah yang menjadi awal polemik thrift di Indonesia saat ini.
Istilah thrift memiliki sejarah yang panjang. Pada awalnya thrifting berasal dari Amerika, dimana pada abad 19 kegiatan thrift bertujuan untuk membantu orang-orang miskin dan yang membutuhkan dengan cara menjual barang bekas dengan harga yang relatif murah. Hingga pada tahun 1960-an fenomena thrift menjadi populer dikalangan remaja Amerika saat itu. Remaja pada waktu itu menganggap bahwa baju yang mereka dapat dari thrift memiliki bentuk serta design yang unik namun dapat diperoleh dengan harga yang murah. Hal yang sama juga terjadi dibanyak negara termasuk Indonesia khususnya kalangan remaja.
Sejatinya thrifting di Indonesia telah ada sejak dulu, namun beberapa tahun belakangan ini fenomena thrift menjadi populer. Dibalik kepopuleran dari fenomena thrifting ini, terjadi pro dan kontra pandangan masyarakat dalam menyikapi fenomena ini. Topik ini menjadi semakin panas ketika pemerintah juga ikut mengambil sikap dalam fenomena ini. Masalah lingkungan, ekonomi, dan budaya menjadi latar belakang kenapa fenomena thrifting ini diperdebatkan eksistensinya.
Sebagian orang menganggap bahwa kegiatan membeli barang bekas atau thrift dapat mengurangi limbah pakaian. Menurut United Nations Environtment Programee (UNEP), industri fashion setiap tahunnya menyumbang total 10% emisi karbon dan pada tahun 2030 angka tersebut angka meledak hingga 50%. Adanya kegiatan thrifting tentu akan membantu menekan angka tersebut karena membeli dan memakai pakaian bekas merupakan salah satu cara untuk menjaga lingkungan.
 Namun, tidak sedikit yang menganggap bahwa kegiatan thrift justru akan meperbanyak jumlah limbah di Indonesia. Barang thrift yang diimpor dari luar negeri tidak semuanya layak pakai, bahkan ada yang sudah rusak. Barang-barang rusak tersebut tentu sudah tidak masuk dalam rencana penjualan, lalu kemanakah pakaian tersebut berakhir? Jawabannya tentu saja TPU. Jika banyak pakaian impor yang rusak masuk TPU maka hal ini justru akan menambah limbah garmen di Indonesia. Apalagi limbah tersebut sebenarnya berasal dari negara-negara maju seperti Amerika dan Jepang.
Sisi negatif lain dari thrifting muncul dalam segi ekonomi di Indonesia. Sebagian masyarakat menganggap adanya usaha thrift dapat menghancurkan industri tekstil lokal. Harga yang terpaut jauh antara barang bekas dan barang yang dijual oleh brand lokal menjadi alasan utama kenapa sebagian anak muda lebih memilih thrifting. Hal ini tentu dianggap sebagai upaya untuk mematikan brand-brand lokal. Hal ini sejalan dengan pemikiran Presiden Jokowi, "Sudah saya perintahkan untuk mencari betul dan sehari dua hari sudah banyak yang ketemu. Itu mengganggu industri tekstil di dalam negeri. Sangat mengganggu. Yang namanya impor pakaian bekas mengganggu,".
Jika melihat dari perspektif lain, usaha thrifting justru membawa dampak yang positif bagi perekonomian dan sosial. Banyak anak muda yang mulai merintis usaha melalui thrifting, sehingga hal ini dapat mengurangi pengangguran yang tentu saja akan berdampak langsung terhadap perekonomian masyarakat. Langkah pemerintah untuk menghentikan para pelaku usaha thrift tentu harus dipertimbangkan kembali. Banyak pelaku usaha thrift yang berasal dari kaum menengah kebawah yang jika usaha mereka dimatikan maka hal ini hanya akan menambah jumlah pengangguran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H