Jumat, 3 September 2010. Hari ke 24 bulan Ramadhan 1431 H.
Pasar Koja, Tanjung Priok, Jakarta Utara selepas adzan maghrib.
Seorang laki-laki paruh baya. Berbaju koko hijau, berkopiah putih, bercelana katun hitam, duduk bersila di trotoar yang masih menyisakan basah hujan. Dua lilin dalam gelas plastik air mineral sudah di nyalakan. Beberapa gambar kusam pada kertas A4 terlaminating berjajar dihadapannya. Gambar-gambar telapak tangan manusia, kiri-kanan lengkap dengan detail garis-garis tangannya.
Kepada setiap yang lewat di depannya, siapa saja, di tawarkan lirih: ayo siapa saja, baca garis tangan untuk nasib, jodoh, rejeki,..
Laki-laki paruh baya itu, apakah manusia beruntung?
Dia yang sudah terpenuhi makna hidupnya, yang berbahagia dan tinggal menghabiskan sisa hidupnya duduk berteman sepasang lilin sepanjang malam setiap hari di tempat yang sama menawarkan jasa baca garis tangan pada lalu lalang orang, setelah dia membaca garis tangannya sendiri?
Laki-laki paruh baya itu, apakah orang yang justru gamang membaca garis tangannya sendiri?
Menerka ragu nasib peruntungan hidupnya sendiri malam ini, apalagi malam esok?
Laki-laki paruh baya itu, ataukah orang yang kesepian?
Menunggu rutinitas malam-malamnya yang sama, tanpa bonus atau kejutan atau bahkan mungkin misteri yang di hadiahkan kehidupan kepadanya, setelah dia mampu membaca setiap gurat makna tertulis di tangannya sendiri?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H