Mohon tunggu...
Fa Ra
Fa Ra Mohon Tunggu... -

manusia sederhana. yang sedang mencoba untuk menorehkan setitik warna di atas kanvas hidup. mencoba menuliskan jejak-jejak pada jalan yang ditempuh. mengabadikannya dalam memori, dan membuatnya tak sekedar ingatan tentang masa lampau. membuatnya menjadi lebih berguna...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Layang-layang

30 April 2010   22:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:29 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

kaki-kaki kecilku riang menapaki jalan setapak di samping sungai di sebelah timur rumahku. teman-teman lelaki cilik sekampung telah asyik di sana. mereka teriak-teriak, girang dengan layang-layangnya. teman perempuan mandi di kali. biasanya aku juga beserta mereka. tapi tidak hari ini, mungkin esok-esok juga.

aku ingin main layang-layang. mulanya ingin layang-layang yang apik, warna-warni, ekornya panjang. kata temanku, banyak dijual yang bagus-bagus begitu. tapi aku harus nabung dulu, karena harganya cukuplah untuk jatah jajanku beberapa minggu. sebuah layang-layang dengan gambar gatotkaca sudah ku pesan jauh hari biar tak dibeli yang lain. kata abang yang jualan, terbangnya seperti gatotkaca. elok benar, pikirku.

benar saja, setelah rela tak jajan dua minggu lebih, gatotkaca itu bisa ku bawa pulang. ibu tanya, untuk apa. ku bilang, ingin main dengan teman-teman di sawah siang nanti. ibu tak suka. kata ibu, aku nonton saja, biar bocah laki-laki yang main. aku tak mau. aku ingin main layang-layang.

tapi tak jadi main memang, gatotkaca itu hilang, padahal aku ingat sekali dimana menaruhnya. aku hampir saja nangis, tak tahu kenapa gatotkaca lenyap begitu. tapi aku benci sendiri kalau cengeng, jadi aku main saja ke sawah. lari, dan terus lari. aku nonton saja. berteriak-teriak, ketawa-tawa kalau angin kencang menerbangkan layangan hingga nyasar, nyangkut di pohon, putus. aku lihat saja semua itu, sambil berpikir bagaimana agar esok aku bisa beserta mereka. melambai-lambaikan mainan itu. kalau bisa, ikut lomba mereka. siapa yang paling tinggi menerbangkannya, paling indah meliukkannya, dan paling tahan lama, itulah yang menang.

sepupuku datang: ayo pulang! ia sampaikan pesan ibuku, sekaligus ancaman akan dimarahi. tapi ayah yang menyambutku di pintu rumah, ibu masih menyiapkan makan sore di dapur. ayah tanya: darimana dan habis main apa. ia senyum dan tangannya yang mengelus pelan rambutku. aku tahu, ia tak marah.

… aku ulur. ia mengudara. ku ulur lagi. angin membawanya terbang melesat. ku tarik. ulur lagi. ia semakin tinggi. aku melepasnya. bebas…(***)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun