Kejujuran adalah tanda bukti keimanan. Orang mukmin bisa dipastikan pasti jujur. Kalau tidak jujur, keimanannya sedang terserang penyakit kemunafikan atau dalam kata lain, berarti dia tidak benar-benar mukmin. Pernah seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW: “Apakah mungkin seorang mukmin itu kikir?” Rasul SAW menjawab: “Mungkin saja.” Sahabat bertanya lagi: “Apakah mungkin seorang mukmin bersifat pengecut?” Rasul menjawab: “Mungkin saja.” Sahabat bertanya lagi, “Apakah mungkin seorang mukmin berdusta?” Rasulullah menjawab: “Tidak.” (Imam Malik dalam kitab al Muwaththo’)
Dalam hadits lainnya Rasulullah saw bersabda: “Kamu sekalian wajib jujur karena kejujuran akan membawa kepada kebaikan dan kebaikan akan membawa kepada surga.” (Ahmad, Muslim, at-Turmuzi, Ibnu Hibban)
Kejujuranlah yang menjadikan Ka’b bin Malik mendapat ampunan langsung dari langit sebagaimana Allah jelaskan dalam surah at-Taubah dan akhirnya kita pun diperintah oleh Allah untuk mengikuti jejak mereka.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar. (At-Taubah:119)
Kejujuranlah yang menyelamatkan bahtera kebahagiaan keluarga, masyarakat dan Negara, dengan kejujuran pulalah yang menyelamatkan seorang Muslim dari siksa api neraka di kemudian hari, saat kata-kata sudah tak sanggup lagi untuk mengelak dan membuat sebuah pembenaran yang palsu.
Kejujuran adalah tiang agama, sendi akhlaq dan pokok kemanusiaan manusia. Tanpa kejujuran, agama tidak lengkap, akhlaq tidak sempurna dan seorang manusia tidak akan sempurna menjadi manusia. Di sinilah urgensinya kejujuran bagi kehidupan.
Meskipun dewasa ini, kejujuran seakan menjadi pil pahit yang enggan untuk ditelan oleh banyak orang. Karena mereka menganggap kejujuran sebagai penghalang dan mungkin saja dapat menghancurkan kita. Maka dari itu muncullah slogan-slogan yang sesat, yaitu “orang yang jujur pasti ajur” artinya orang yang jujur, pasti akan hancur.
Rasulullah pernah bersabda, “Tetap berpegang eratlah pada kejujuran. Walau kamu seakan melihat kehancuran dalam berpegang teguh pada kejujuran, tapi yakinlah bahwa di dalam kejujuran itu terdapat keselamatan.” (Abu Dunya)
Ada tiga tingkatan kejujuran:
- Kejujuran dalam ucapan, yaitu kesesuaian ucapan dengan realitas. (lihat ash-Shaff : 2 dan al-Ahzab: 70).
- Kejujuran dalam perbuatan, yaitu kesesuaian antara ucapan dan perbuatan.
- Kejujuran dalam niat, yaitu kejujuran tingkat tinggi di mana ucapan dan perbuatan semuanya hanya untuk Allah SWT.
Seorang mukmin tidak cukup hanya jujur dalam ucapan dan perbuatan saja, tapi harus jujur dalam niat sehingga semua ucapan, perbuatan, kebijakan, dan keputusannya harus didasarkan atas tujuan mencari mardlotillah dan tidak semata-mata hanya untuk menyenangkan orang lain.
Kejujuran inilah yang mendorong Umar bin Khattab memiliki tanggung jawab luar biasa dalam memerintah khilafah Islamiyah sehingga pernah berkata: “Seandainya ada seekor keledai terperosok di Baghdad (padahal beliau berada di Madinah), pasti Umar akan ditanya kelak: “Mengapa tidak kau ratakan jalan untuknya?”
Bangsa yang tak henti-hentinya diterpa musibah dan krisis sangat membutuhkan manusia-manusia jujur, baik dalam ucapan, perbuatan, maupun niat. Sungguh bangsa Indonesia, teruama umat Islam secara khusus sangat membutuhkan pribadi-pribadi yang jujur, baik sebagai rakyat maupun pemimpin yang merupakan contoh bagi masyarakatnya. Seorang pegawai, direktur, pedagang, pembeli, suami dan istri, ayah dan anak, keluarga, lingkungan dan dalam berbagai lini kehidupan lainnya, haruslah diterapkan nilai-nilai kejujuran. Karena berusaha bersikap jujur dalam kehidupan, haruslah dimulai sejak usia dini dan dimulai dari hal-hal yang terkecil.
Bahwa dengan kejujuranlah, hidup suatu bangsa akan menjadi tenteram, nyaman dan sejahtera, bahkan akan kokoh dan tegak berdiri sehingga jauh dari tipu daya dan perilaku curang. Karena itulah Rasulullah saw mengingatkan: “Kamu sekalian wajib jujur karena kejujuran akan membawa kepada kebaikan dan kebaikan akan membawa kepada surga.”
Seorang pemimpin suatu negeri tentunya sangat dibutuhkan sikap kejujuran diri, sehingga dengan demikian dapat memberikan keadilan, kenyamanan dan ketenteraman hidup rakyatnya. Jujur bukanlah sekedar ucapan pemanis lidah, hanya sebuah keluhan belaka, dengan mengatakan di hadapan orang banyak, namun jujur merupakan praktek nyata yang betul-betul kelihatan sehingga dapat dirasakan oleh orang lainnya, meskipun kita tidak perlu mengutarakannya dan berkoar-koar kalo kita sedang berkata jujur
Saat ini, bangsa Indonesia sangat merindukan pemimpin yang mapu bersikap jujur. Jujur terhadap dirinya, rakyatnya dan segala tindakan yang telah dilakukannya. Masyarakat sudah sepertinya sudah kehilangan kepercayaan terhadap kejujuran itu sendiri, apalagi terhadap kejujuran pemimpinnya dan para politisi yang selalu saja menyayikan lagu-lagu indah, namun mematikan. Bagaimana masyarakat tidak frustasi dengan kejujuran?? Seorang pemimpin yang harusnya dijadikan contoh dan panutan, sering menunjukkan perilaku yang tidak jujur, sedangkan di lingkungan masyarakat saja, segala kegiatan hampir selalu ada praktek-praktek manipulasi, yang artinya bahwa kebohongan adalah sesuatu yang lazim untuk dilakukan. Sedangkan bagi orang-orang tertentu yang berusaha ingin jujur, malah dianggap menghalangi dan mengganggu system yang ada.
Pejabat yang jujur, adalah dambaan umat, sehingga dengannya dapat memberikan kemaslahatan besar untuk rakyatnya, sekalipun dirundung masalah jujurlah, berikan keterangan sebenarnya, jangan disembunyikan.
Hakim yang jujur, adalah harapan semua pihak, sehingga dengan dapat mengeluarkan hokum yang adil, tidak memihak kepada yang kuat atau punya uang. Bahkan nabi saw dengan keras bahwa hakim ada tiga; dua di neraka dan satu di surga.
Kita pun sebagai rakyat harus jujur, terutama dalam memilih seorang pemimpin. Karena masih banyak yang mudah dibuai oleh rayuan kata-kata dan harta, bahwa tak masalah memilih pemimpin yang tidak kepribadiannya, asalkan loyal dan suka memberi uang.
Akhirnya marilah kita mengaca diri, bahwa kita semua memerlukan pembenahan secara personal dan social. Marilah kita mulai itu semua, dari merubah diri sendiri, sebagai titik awal perbaikan diri menuju keshalihan diri dan sosial, sehingga membangun kehidupan yang baik menuju keshalihan sosial dan berbuah pada terwujudnya negeri yang “baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H