Saya lahir di suatu negeri, dimana banyak orang menyebutnya surga dunia. Sebutan itu tampaknya bukan tanpa alasan. Banyak orang, termasuk dari negeri seberang iri dan ingin memiliki sebagian dari negeri ini karena tanahnya yang subur, kaya akan mineral dan minyak.
Disudut kota bernama Jakarta, sang ibukota yang tidak pernah tidur. Disanalah anda bisa menemui saya. Saya cukup bahagia tinggal dikota ini, dan itu bukan bualan. Banyak yang membuat saya tetap bertahan untuk tidak berpindah ke lain tempat, karena kota ini bak pelayan yang siap memenuhi kebutuhan tuannya. Dan saya lah salah satu tuan itu.
Bilang saja ketika hendak pergi kesuatu tempat, saya bisa naik angkutan umum dimana saja saya inginkan, dan berhenti dimanapun saya mau. Tapi dari pada naik kendaraan umum, lebih baik saya menggunakan kendaraan pribadi. Saya dapat dengan mudah membeli kendaraan pribadi, karena pajaknya kecil, dan semua orang berpikiran yang sama dengan saya, sehingga kami pun berlomba – lomba untuk membeli kendaraan.
Jika saya naik kendaraan pribadi, dimana saja saya bisa berhenti, seakan dimana saja bisa jadi tempat parkir, baik di badan jalan maupun di trotoar. Apalagi kalau naik motor, seakan mempunyai jalan pribadi, yaitu trotoar, jalan bebas hambatan bagi para pengendara motor. Bosan naik keduanya, saya lebih memilih naik kereta api, walaupun penuh sesak karena tidak dibatasi berapapun banyak orang yang masuk, kendaraan ini anti macet.
Saat dalam perjalanan, saya tidak perlu takut merasa lapar, karena banyak penjaja makanan disepanjang jalan. Selesai makan, tidak usah malu untuk membuang sampah dimana saja, seakan tempat sampah kota tersedia sepanjang jalan.
Di kota saya bisa sesuka hati meludah dan bahkan seakan tersedia toilet disepanjang jalan dan saya sering kali melihat orang buang air di pinggir jalan. Semua orang bisa merokok dimana saja. Tidak perduli perda larangan merokok disembarang tempat.
Pernah suatu ketika saya berkesempatan beranjak ke suatu kota di negeri lain, dimana semuanya berbeda dengan negeri saya. Disana saya tidak bisa berbuat sesuka hati saya. Semua tertata dengan baik dan teratur. Aturan yang dibuat ditegakkan oleh pihak berwajib. Sehingga semua orang takut untuk melanggarnya, dan saya rasa bukan hanya itu, tetapi mungkin juga kerena mencintai kotanya.
Saya menyukai kota saya, tapi dengan melihat kota di negeri lain, saya merenungi perbedaan yang saya dapati. Saya rasa kita perlu banyak belajar dan membuka diri serta mengakui kekurangan yang dimiliki.
Saya mungkin suka menjadi raja jika berkendara di kota saya karena bisa berhenti dimana saja, tapi bisa menyebabkan kemacetan. Saya mungkin suka terhindar dari macet karena menggunakan trotoar, tapi saya berfikir ada hak para pejalan kaki yang terabaikan. Dan ketika naik kereta, saya sangat merindukan kenyamanan.
Saya mungkin bisa saja membuang sampah sembarangan, tapi saya sadar lama kelamaan akan membuat banjir dan merugikan banyak orang.
Walaupun saya bisa meludah dan buang air  disembarang tempat, tapi saya menyadari saya bisa menyebarkan penyakit bagi orang lain. Dan saya sangat senang jika semua perokok merokok pada tempat yang disediakan, karena ada hak non smoker yang terlanggar.
Dan satu yang pasti, saya berharap peraturan ditegakkan, agar semua orang bisa berlaku tertib, sehingga kota ini berubah menjadi indah dan nyaman. Berharap lama – kelamaan mencintai kota ini.
Kota ini merupakan kompas bagi kota lain yang patut dijadikan tauladan. Jadi tidak ada alasan untuk tidak move on kearah yang lebih baik. Mimpi saya bukan hanya sekadar mimpi jika pemimpin yang jujur, adil dan cerdas mampu merangkul masyarakat untuk dapat membangun kota ini bersama – sama.
(Special for JW – semoga beliau membacanya, dan para petinggi di negeri ini)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H