"Sssh! Jangan bertanya seperti itu pak. Nanti kedengaran sama bunda." Tegur Febri dengan hati-hati. Agar Pak Hapri tak tersinggung ia memolesinya dengan sedikit tawa.
 "Okelah kalau begitu. Ayo diminum kopinya sudah ada," pak Hapri lagi.
 "Sementara tak ada percakapan lagi. Sambil menunggu makanan datang, pikiran mereka masing-masing mengembara. Isinya macam-macam. Dari memikirkan anak istri hingga bayangan ketakutan jika nanti mereka bisa masuk ke Ventira memboncengi keberangkatan tim Daniel, Raiva dan Rainy.
 Pelayan warung makan kembali muncul membawa baki berisi piring makan. Kali ini seorang ibu menemaninya, juga membawa baki berisi makanan. Dengan cekatan tapi sopan, mereka meletakkan semua makanan ke atas meja. Uap panas nasi mengepul, memancing rasa lapar Pur, Irwan, Febri dan Andi kian memuncak.Â
 Dengan lahap mereka mulai menyatap makanan yang ada. Pak Hapri nampak bersiul kecil mengikuti hantakkan irama bas dari music yang diputar di warung makan sebelah. Sepertinya itu tindakkan mengusir rasa jenuhnya saja.
 Di tengah-tengah acara makan itu, mendadak Irwan tercenung sambil menatap kosong pada gelas kopinya. Wajah menunjukkan bahwa ia tengah berkonsentrasi pada sesuatu hal. "Tolong diam dulu..." katanya.
 Yang lainpun segera berhenti menyantap.
 "Ada apa, Wan?" Tanya Febri.
 "Sepertinya bunda sudah ada. Aku bisa merasakannya."
 Semua ikut tercenung. Mereka saling memandang.
 "Maksudnya di mana, Wan?" Tanya pak Hapri.