Didin baru mau meneruskan ceritanya ketika Raiva dan Rainy masuk ke ruangan itu. Seperti biasa, ekspresi wajah Raiva yang selalu tersenyum agak malu dengan gerak-gerik manjanya menjadi perhatian semua yang ada disitu. Apalagi ia menggelayut di lengan Rainy dengan kedua tangannya sehingga ia terlihat seperti seorang gadis abg yang sedang mau diperkenalkan oleh Rainy.
 "Hai... kamu pasti Raiva," Burhan kembali menebak dan kali ini benar.
 "Ya, saya Raiva. Maaf saya ketiduran sehingga tadi tidak menjemput," sahut Raiva.
 "Saya Danish," senyum lebar Danish kembali terlihat ketika ia menggenggam tangan Raiva dengan hangat. Danish memang tipe gadis yang sangat murah senyum. Malah tingkah polanya persis sama dengan orang Indonesia kebanyakan, penuh dengan sikap tenggang rasa.Â
Itu sangat terlihat ketika ia berdiri, kemudian mempersilahkan kursinya diduduki oleh Raiva atau Rainy. Maklum  kursi ruang makan cuma 4. Tiga buat satu orang diduduki Burhan, Danish dan akhirnya di duduki Raiva. satu yang agak panjang untuk 2 atau  3 orang
 "Oh no, no. it's Ok. Silahkan duduk kembali biar aku ambil tempat duduk bulat itu," cegah Eva sambil berdiri, namun tangan Rainy yang cekatan segera meraih lengannya. Gerakan itu terlihat sangat reflex meski terlihat lembut. Bagi Eva cengkraman itu terasa agak kuat. Â
 "Biar Raiva aja yang duduk di kursi itu, beb?" halus Rainy berujar pada Raiva. Sedang ia sendiri duduk di lengan kursi yang diduduki Raiva, karena ia tahu bobot tubuhnya pasti tak berpengaruh sedikitpun pada lengan kursi jenis kayu hitam ini.
 "Excuse me... May I continue the story earlier?" Suara Didin terdengar halus namun terkesan agak tidak sabaran lagi.  Ia ingin segera melanjutkan ceritanya biar cepat selesai. Sebelum itu ia mengangkat tubuhnya sedikit agar lebih tegak lantaran mulai merasa tebal. Apalagi kini di apit Baim dan pujaan hatinya Eva.
 Maka kisah petualangan Didin tersesat ke negeri Ventira kembali mengalir di malam yang semakin larut. Sorot mata penasaran milik Burhan dan Danish bercampur dengan suasana tegang yang memenuhi ruangan itu.  Sesekali terdengar pertanyaan dengan suara rendah namun agak bergetar dari dua wartawan senior ini.
 Meskipun berusaha memperlihatkan ketenangan, namun sangat terasa ada detak tak teratur dalam nada suara yang mereka ucapkan. Mungkin karena takjub akan kisah Didin tentang Ventira.
 "Perasaan saya, kira-kira ada sekitar seharian saya terperangkap di tempat itu. Tepatnya di dalam taman itu. Itu sangat luas. Kalau saya perhatikan mungkin 4 atau lima hektar. Namun itu tadi, saya tak bisa kemana-mana. Karena sewaktu saya coba pergi kearah yang tampak seperti jalanan di depan saya atau ke area bangunan yang  seperti gedung pencakar langit di seberang jalan itu, seperti ada sekat tebal yang tak nampak yang menghalangi saya. Saya dapat meraba sekat itu tapi tidak bisa melihatnya. Anehnya, orang atau mahluk seperti kita itu, mereka dengan mudahnya datang ke tempat saya  berada dan sedikitpun tidak terhalangi oleh sekat atau tembok. Saya stress dan sangat tertekan selama ada di sana. Rasa takut, cemas, dan bingung bercampur satu meski ada sedikit rasa aman karena tidak diganggu." Didin berhenti sesaat, meraih gelas kopinya lalu menyeruputnya beberapa kali.  "Setelah saya kembali pulang ke alam kita ini, saya baru sadar bahwa saya memang sudah masuk ke negeri Ventira tapi tidak ke kotanya," sambungnya lagi.