Mohon tunggu...
Muhammad Farhan Hamami
Muhammad Farhan Hamami Mohon Tunggu... -

Sedang mencoba untuk belajar menulis, menemukan kembali gairah menulis yang pernah hilang..

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Saya Sedang Tak Butuh Cinta

19 Februari 2011   00:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:28 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12980747351733510003

[caption id="attachment_90712" align="alignleft" width="300" caption="Red Love Seeds"][/caption] Benih cinta yang datang pada saat diri sedang tidak membutuhkannya adalah ibarat biji gandum yang jatuh di atas batu dan tak ada hujan yang menyiramnya kemudian. Biji gandum tersebut tidak akan tumbuh namun tidak akan pula membusuk. Ia akan menetap di atas batu dalam kondisi dormant dan bahkan sinar matahari yang menerpa akan menempanya menjadi kian matang, sampai satu saat angin akan menerbangkannya ke bentangan tanah nan subur dengan hujan yang berkecukupan. Maka tumbuhlah biji gandum di tempat tersebut, terus tumbuh, berbuah, menghasilkan biji-biji gandum yang lebih baik, kemudian mati setelah hidup dalam kebahagiaan. Saya tidak terlalu pandai untuk menggambarkan keadaan "diri yang sedang tidak membutuhkan cinta" itu sejatinya seperti apa, bahkan mungkin agak terdengar aneh. Cinta itu pada hakikatnya sangat luas, maka biarlah saya sedikit lancang untuk mempersempit cinta yang saya maksud dalam tulisan ini; Cinta antara sepasang anak manusia. Setiap orang butuh cinta, mencinta dan dicinta pasangannya. Banyak orang yang menerima begitu saja cinta yang mendatanginya, atau mencintai apa saja yang ditemuinya, tanpa perlu peduli jika esok cinta itu hilang dari hidupnya. Mungkin tidak ada sakit yang akan dirasa, bahkan kadang rasa sakit pun sudah dimaklumi sebagai resiko bermain cinta. Maka kemudian beruntunglah orang-orang yang tidak terburu-buru menumbuhkan cinta karena ia sadar bahwa dirinya atau benih cinta tersebut belumlah siap untuk tumbuh dengan baik. Kondisi tidak siap inilah yang saya kira cukup tepat untuk menggambarkan keadaan "diri yang tidak membutuhkan cinta" tersebut. Siap atau tidak siap yang pertama dan utama adalah kesiapan dari dalam diri kita, ini saya namakan sebagai faktor internal. Contohnya: kemampuan diri untuk mengerti dan menghargai pasangan, mengontrol emosi, mengendalikan nafsu, dan sebagainya. Kemudian yang juga dibutuhkan adalah dukungan dari luar diri kita, saya namakan sebagai faktor eksternal. Contohnya: dukungan keluarga, teman-teman pergaulan, pekerjaan, ekonomi, dan sebagainya. Kembali ke cerita kiasan tentang biji gandum di awal tadi, batu adalah gambaran hati yang dalam kondisi tidak siap menumbuhkan cinta. Selalu melakukan introspeksi terhadap diri sendiri adalah salah satu cara untuk mengetahui kondisi siap atau tidak siapnya diri kita untuk memberi atau menerima cinta. Ketika kita menilai diri kita belum siap, maka biarlah hati menjadi sekeras batu agar benih cinta tidak buru-buru tumbuh dalam hati sembari menunggu benih yang datang tersebut menjadi kian matang karena kesabarannya menunggu masa tumbuh. Jika sedang berada dalam kondisi seperti ini maka usahakan untuk tidak terpengaruh dengan faktor eksternal. Dalam kiasan biji gandum, hujan merupakan contoh faktor eksternal. Bayangkan ketika biji gandum yang jatuh di atas batu kemudian tersiram hujan, maka hanya akan ada dua kemungkinan yang akan terjadi; pertama biji gandum tersebut akan membusuk, dan yang kedua biji gandum tersebut akan tumbuh menjadi kecambah lalu mati muda karena akarnya tidak mampu menembus kerasnya batu. Namun ketika diri sudah siap, maka hati akan menjadi lembut serupa tanah yang subur yang siap untuk ditumbuhi benih cinta. Barulah kemudian biarkan faktor-faktor eksternal tadi membantu menghantarkan benih cinta tersebut ke tempat tumbuhnya, seperti angin yang menerbangkan biji gandum ke bentangan tanah subur. Setelah benih tersebut jatuh di tanah subur, maka dibutuhkan hujan yang berkecukupan untuk benih tersebut tumbuh dan juga sebagai penyokong selama masa hidupnya. Boleh saya sebutkan hujan di sini adalah perumpamaan keluarga dan ekonomi. Jangan dikira cinta adalah milik berdua dan hanya dijalani berdua, kecuali anda terlahir dari mulut goa tanpa orang tua, tanpa keluarga. Dan jangan pula dikira kita bisa hidup hanya dengan cinta dan mengesampingkan kondisi perekonomian kita, bukan bermaksud untuk materialis tapi cobalah berpikir realistis. Tidak ada hujan sama sekali, maka benih tidak akan tumbuh. Hujan yang tidak cukup bisa jadi akan mebuat pohon cinta tidak tumbuh dengan baik atau bahkan mati. Kita tahu berapa banyak perpisahan atau bahkan perceraian yang disebabkan faktor keluarga dan ekonomi, juga faktor eksternal lainnya. Jangan berlebihan, jangan pula kekurangan, yang penting berkecukupan. Dan ketika secara internal dan eksternal, atau secara batiniah dan lahiriah, kita sudah siap maka saya rasa tidak akan begitu sulit untuk terus menjaga cinta tersebut, untuk kemudian menghasilkan buah-buah yang berkualitas, dan pada akhirnya hanya akan menyisakan jiwa-jiwa yang tetap mencinta dan semoga kelak akan berkumpul lagi si surga. Amiin. --- Farhan, 19 Februari 2011 Hasil merenung setelah semalaman tidak tidur. Sumber gambar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun