20 Desember 2001, novel itu akhirnya kembali ke tangan pemiliknya, seorang sahabat lama meminjamkannya kepada saya kira-kira satu tahun lebih dua bulan lalu, dan selama itu pula saya tidak berjumpa dengan sahabat saya itu. Dan perjumpaan dengan gadis itu - sahabat lama saya - menyisakan satu hutang yang entah kapan bisa saya bayar: sebuah cerita tentang cinta dan persahabatan lengkap dengan berbagai konflik di dalamnya, termasuk (mungkin) sebuah penghianatan. Kami masih sama-sama muda, penuh semangat dan obesesi, bahkan mungkin mimpi. Obsesi dan mimpi-mimpi yang mungkin tumbuh dari cerita-cerita - dalam bentuk apa saja - yang sering kami baca dan kemudian diperdebatkan, atau mungkin dengan bahasa yang lebih baik: didiskusikan. Mungkin seperti kebanyakan anak muda seperti kami, yang berada di penghujung usia belasan, selalu saja ada kejenuhan ketika melakukan hal-hal sama berulang kali, dan itu terjadi pada kebiasaan kami yang hanya sekedar membaca dan mendiskusikan. Pertemuan di penghujung tahun 2001 itu mungkin adalah puncak dari kejenuhan yang kami alami. Hari itu kami tidak banyak membahas cerita-cerita yang telah kami baca seperti pada pertemuan kami di tahun-tahun sebelumnya. Hanya sebatas novel yang baru saja saya kembalikan. Selebihnya, kami terlalu sibuk menghayalkan sebuah cerita yang kami bangun sendiri di dalam pikiran kami masing-masing. Satu kesepakatan dibuat, satu hari nanti, entah itu lima atau sepuluh tahun lagi atau kapanpun, kami akan bertukar cerita, bukan lagi bertukar cerita yang ditulis oleh orang lain seperti yang sering kami lakukan sebelumnya, tetapi bertukar cerita hasil tulisan sendiri, dengan ide-ide murni dari kepala masing-masing, dengan tema seperti yang telah saya sebutkan di awal tadi. Hari itu adalah perjumpaan terkahir saya dengannya, kami sama-sama pindah dari kota tempat kami menghabiskan masa kecil, dalam waktu yang hampir bersamaan, mungkin itu adalah sekedar sebuah kebetulan, saya pun tidak ingin terlalu melebih-lebihkan. Selama hampir sembilan tahun kemudian, sampai hari ini - hari pertama di bulan Juni 2010 - dalam setiap percakapan yang hanya melalui suara dan tulisan tanpa bertemu muka, tidak satupun diantara kami yang membahas tentang kesepakatan yang pernah dibuat tersebut, dan tidak satupun yang telah memenuhinya. Walaupun saya yakin, atau setidaknya saya berharap, tidak satupun diantara kami yang melupakan kesepakatan itu. Janji adalah janji, harus dipenuhi satu hari nanti, entah itu lima atau sepuluh tahun lagi atau kapanpun. Dan saya mulai menulis cerita.
***
Dua minggu menjelang hari pernikahanku, aku memutuskan untuk pergi meninggalkan kota ini. Jakarta, tempat dimana aku dihadirkan dalam sebuah keluarga, tumbuh menjadi manusia yang (aku pikir) layak disebut sebagai manusia, dan dua minggu lagi aku akan mengambil sebuah langkah besar dalam perjalanan hidupku; menghadirkan sebuah keluarga, di kota ini. Aku pergi bukan untuk lari dari pernikahanku. Entah apa yang membuatku tiba-tiba sangat ingin mengunjungi kampung halaman ayahku, padahal sebelumnya aku selalu menolak tiap kali ayah mengajakku untuk datang ke sana. Seingatku, terakhir kali aku datang ke sana saat usiaku baru dua belas tahun, lebih kurang tujuh belas tahun yang lalu. Bisa jadi karena didorong keinginan untuk bersilaturahmi dengan keluarga dan sanak saudara yang ada di sana sekaligus mengundang mereka untuk datang ke acara pernikahanku, atau mungkin hanya untuk sekedar melepaskan kepenatan dari pelbagai kesibukan persiapan acara pernikahan, atau untuk mengendurkan urat-urat yang menegang menghadapi pernikahan. Entahlah, aku tak tahu pasti, bisa jadi satu di antara kemungkinan-kemungkinan itu benar, atau semuanya benar. Yang jelas sepuluh menit lagi pesawat ini akan mendarat di Adi Sutjipto dan kira-kira dalam dua jam - menurut perhitungan saudara sepupuku, Andi - perjalanan menggunakan sepeda motor, aku akan sampai di kampung halaman ayah. Kota ini sekarang tidak jauh berbeda dengan Jakarta, selintas aku berpikir demikian. Mataharinya sama menyengat dan sedikit lebih panas. Bus-bus kota dan antar kota seukuran Metromini (atau lebih besar) melaju kencang dan berhenti semaunya, tak kalah brutalnya dengan Metromini atau Kopaja di Jakarta. Jumlah sepeda motor pun tidak kalah banyak, gaya mengendarainya juga nyaris sama saja, berapa kali aku menepuk bahu Andi dan memintanya untuk mengurangi kecepatan laju sepeda motornya. Mulai memasuki daerah perkampungan aku mulai menemukan nuansa berbeda yang tidak aku temukan di kotaku. Menempuh jalan tanah setengah beraspal yang tertutup - entah itu debu, pasir, atau abu, aku terpaksa menutupi mulut dan hidung dengan sapu tangan. Dengan mata agak memicing untuk menghalau kotoran masuk ke mata, aku mengamati senyum ramah yang diberikan orang-orang setiap kali Andi menganggukan kepala (mungkin tanda permisi) ketika berpapasan dengan mereka. Sesekali terdengar sapaan “Monggo” yang kemudian dijawab dengan “Nggeh, monggo, monggo” (atau yang semacam itu) lengkap dengan intonasi dan senyuman yang terasa begitu damai. Tak salah aku datang ke sini, pikirku. Sepeda motor itu akhirnya berhenti. Aku melirik jam tangan sesaat, satu jam lebih empat puluh delapan menit. Dingin udara pagi serasa menusuk tulang, seakan membangkitkan kembali rasa pegal-pegal di punggung setelah duduk memanggul tas ransel dalam perjalanan hampir dua jam di atas sepeda motor kemarin. Belum lagi ditambah pegal karena tubuh yang mulai tidak terbiasa tidur di kasur tipis berisi kapuk seadanya, terlalu lama dimanjakan dengan kasur pegas berlapis lateks. Namun keinginan untuk mengelilingi kampung menikmati udara pagi sesegar ini yang sudah jarang aku dapati di kotaku membuat kedua kaki ini begitu ringan untuk melangkah. Sebuah kamera dan tas kecil kugantungkan di pundak. Dengan sedikit memaksa kuajak Andi yang tengah asik duduk di bangku kayu di teras rumah dengan segelas kopi dan sebatang rokok. “Desa ini ngga ada apa-apanya, Mas. Gur sawah sama kebun thok.” Dengan logat jawa yang kental Andi mencoba menolak ajakanku dengan cara yang (mungkin) khas di sini - lembut, sopan - sehingga aku tak terlalu menganggap itu adalah sebuah penolakan. Justru karena di desa ini cuma ada “sawah dan kebun thok” seperti yang dikatakan Andi, aku semakin tertarik untuk mencari-cari apa-apa yang jarang aku temukan di kotaku yang hampir tidak memberikan sebidang tanah bagi rumput dan pepohonan untuk tumbuh subur. Jangankan untuk tetumbuhan, sering kali kutemui kucing yang buang hajat di pot-pot bunga (kering) karena hampir tidak ada lagi tanah atau pasir yang bisa mereka gali untuk tempat mereka melaksanakan hajatnya. Aku berdiri di pematang sawah yang tepat dibelakangku terdapat sebuah parit dengan lebar hampir dua meter tempat air mengalir deras dari saluran irigrasi yang kemudian dibagi-bagi ke parit-parit yang berukuran lebih kecil untuk mengairi sawah-sawah di sekitarnya. Sesekali terdengar suara kicauan burung yang seolah sedang bernyanyi diiringi musik alam berupa suara aliran air dari parit tadi. Andi berjongkok dengan mata mengantuk di sebelah kananku. Bulir-bulir padi berwarna hijau muda mulai tampak di setiap ujung batang padi, setidaknya menurut perkiraanku dalam waktu tidak lebih dari satu bulan lagi padi-padi ini akan segera dipanen. Di sisi timur, selatan, dan barat - walaupun aku tidak terlalu paham dengan arah mata angin, namun begitulah orang-orang di sini mengajarkan kepadaku bahwa mata angin adalah cara paling tepat untuk menunjukkan letak dan arah; lor, wetan, kidul, kulon, (utara, timur, selatan, barat) begitu yang mereka sebutkan berurutan searah jarum jam. Bukan lagi dengan menggunakan kanan, kiri, depan, dan belakang yang tentu letaknya tidak pasti, sangat bergantung pada posisi dan persepsi orang-orang yang mengatakan dan mendengarkan. Bisa jadi kompas tidak terlalu laku di sini - bukit-bukit mengelilingi desa, bukan bukit-bukit tinggi serupa gunung, hanya bukit-bukit kecil yang tingginya kira-kira hanya lima sampai belasan meter. Bukit ini terlihat “gundul” - tidak seperti daerah perbukitan yang aku lihat di televisi yang entah pastinya berada di mana, ditumbuhi pohon-pohon besar berkayu - namun sekaligus terlihat subur. Gundul ternyata tidak selalu berkonotasi pada ketidak suburan, seperti rambut di kepalaku yang setahun belakangan mulai rontok dan mebuat kepalaku sedikit gundul. Pohon-pohon besar hanya sedikit saja tumbuh di bukit-bukit tersebut sedang selebihnya ditanami tanaman sayuran. Keasyikan mendengar musik dan nyanyian alam sembari memandangi lukisan alam yang terbentang di hadapanku tiba-tiba terusik oleh suara (seperti) tiupan seruling dari kejauhan, mataku liar mencari sumber suara ke segala penjuru, dan akhirnya terpaku pada sebuah rumah atau gubuk satu-satunya di atas sebuah bukit di sisi antara timur dan selatan. Aku mengganti lensa kameraku dengan lensa panjang agar aku bisa mengintip lebih dekat ke gubuk yang berada kira-kira 300 sampai 400 meter di hapanku, kini. Lama membidik dengan panjang lensa maksimal, 300mm, akhirnya aku temui sesosok laki-laki berambut panjang dengan ikat kepala dan syal batik di lehernya, berpakaian hitam-hitam, duduk bersila di sebuah bangku di bawah dua pohon kelapa di depan gubuk, dan menghadap ke arah desa, ke arah di mana aku berdiri sekarang. Sebuah seruling menempel di depan bibirnya, wajahnya terlihat kuning diterpa sinar matahari pagi yang telah lebih dulu menyapa bagian atas bukit. “Itu Opung Tarjo.” Aku sedikit tekejut dan mengembalikan posisi kamera ke depan dadaku, kemudian terkekeh mendengar kata-kata yang baru saja diucapkan Andi. Rupanya diam-diam dalam kantuknya, atau mungkin dalam kebosanannya memandangi sawah dan bukit, ia mengamati gerak-gerikku sedari tadi, dalam diam. “Opung Tarjo?” tanyaku memastikan, dan tetap terkekeh. Tanpa menghiraukan jawaban Andi yang pastinya mengiyakan, pikiranku melayang-layang. Bagaimana bisa panggilan Opung ditujukan bagi seseorang yang bernama Tarjo? Sungguh lucu. Atau mungkin inilah perwujudan dari sosok Pujakesuma - akronim dari Putra Jawa Kelahiran Sumatra - yang selama ini hanya kutemukan tertulis di bak truk di jalan tol Jakarta-Merak atau tol Cikampek. Kemudian aku terkekeh lagi, “Itu nama aslinya?”. Andi mengangkat kedua bahunya. “Pulang yuk, Mas. Sarapan dulu, nanti bar sarapan baru jalan-jalan lagi.” Aku mengiyakan dan kami berjalan berdampingan. Sepanjang perjalanan pulang, Andi menceritakan banyak hal tentang Opung Tarjo, yang kedatangannya ke desa ini sekitar empat atau lima tahun lalu secara tidak langsung telah membawa perubahan cukup besar pada kehidupan masyarakat desa yang mata pencahariannya sebagian besar adalah dengan bertani. Banyak orang menganggapnya gila pada awalnya dan kemudian menertawakannya - ada yang masih menganggapnya gila sampai hari ini - ada pula sebagian lagi yang mungkin lebih arif menganggapnya sebagai mantan seorang preman terminal yang baru belajar bercocok tanam dan kemudian membiarkannya. Dalam kegilaannya itu, ia membayar orang-orang untuk merombak total sejumlah petak sawah yang ia beli di dinding-dinding bukit - berikut rumah di puncak bukit itu - dari yang berbentuk terasering menjadi berbentuk pematang-pematang tinggi yang berjajar dengan lebar kira-kira satu meter. Setelah pekerjaan perombakan itu selesai, kemudian sendirian ia menanam kacang panjang dan kacang buncis dengan bibit yang ia bawa sendiri, dan merawat tanaman-tanaman tersebut termasuk dengan memberi pupuk dan memasang tiang penyangga dari bambu. Dalam hitungan bulan, ia membuktikan bahwa ia tidak gila (atau malah menunjukkan inilah sebuah kegilaan), panen kacang panjang dan kacang buncisnya sukses, bahkan hasilnya sangat baik. Kacang panjang dengan panjang bisa hampir satu meter, dan kacang buncis yang gemuk-gemuk tentu membuat orang-orang kampung geger. Inilah awal dari dinding-dinding bukit yang sekarang hampir seluruhnya ditamami sayuran. Opung Tarjo - lagi-lagi menurut cerita Andi - jarang menjual hasil panennya ke pasar atau penadah yang sering memborong hasil panen petani dengan harga (mungkin) murah saat musim panen. Di tengah masyarakat yang masih begitu percaya pada hal-hal gaib dan ajaib, banyak orang yang percaya bahwa Opung Tarjo memiliki kesaktian yang membuat bibit sayurannya bisa meberikan hasil panen yang terbaik, dan Opung Tarjo seiring berjalannya waktu berganti julukan dari orang gila (sakit) menjadi orang sakti. Aku kira Opung Tarjo cukup cerdas untuk memahami hal-hal semacam ini dan mengambil peluang untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya dengan lebih memilih untuk mengolah sebagian besar hasil panennya menjadi bibit yang kemudian ia jual pada warga dengan harga lebih tinggi dari bibit yang dijual di pasaran, tentunya dengan embel-embel: “Bibit Ajaib OT” yang ditulis dengan spidol biru. Ketertarikanku pada sosok bernama Opung Tarjo semakin menjadi, aku menanyakan banyak hal tentangnya, dan perbincangan mengenai Opung Tarjo pun berlanjut di meja makan, dan setelahnya. Pak Lik Danar, adik ipar ayahku, menambahkan bahwa Opung Tarjo hidup sendirian di rumahnya di atas bukit, orangnya tertutup dan jarang bersosialisasi dengan masyarakat sekitar, walaupun hampir semua masyarakat di desa-desa sekitar perbukitan pasti mengenalnya. Tamu paling setianya, selain orang-orang yang membeli bibit padanya, adalah Pak RT yang dalam satu bulan bisa tiga atau empat kali datang ke rumahnya mengantarkan surat-surat yang dititipkan petugas Pos karena berkeberatan mendaki bukit sendirian untuk mengantarkannya langsung ke Opung Tarjo. Konon kabarnya, surat-surat itu dikirim oleh seorang bernama Emha - saya kira pastinya bukan mengacu pada tokoh Emha Ainun Nadjib yang namanya juga begitu terkenal di sini - dengan alamat pengirim yang juga tidak jelas, hanya menulis satu nama kota: Sumedang. Aku sempat ragu ketika menyatakan ingin bertamu ke rumah Opung Tarjo besok, Pak Lik Danar hanya tersenyum mendengar keinginanku, “Ya ndak apa-apa kalau mau ke sana, sekalian Pak Lik titip beras ya buat Opung Tarjo.” Seperti pagi sebelumnya, selepas subuh aku sudah bersiap untuk keluar rumah, kamera dan tas kecil kembali aku gantungkan di pundak, kali ini tujuanku adalah rumah Opung Tarjo di atas bukit. Tak kuusik Andi yang masih tertidur lelap di atas dipan kayu berlapis kasur tipis dalam kelelahan setelah ikut berjaga semalam, berjalan sendirian pasti tidak kalah mengasyikkan, pikirku. Setelah menyusuri pematang-pematang sawah licin dan ditumbuhi rumput-rumput yang basah dengan embun pagi dan kemudian menyusuri jalan mendaki dan berkelok naik ke atas bukit, mengikuti sumber suara tiupan seruling yang melantunkan nada-nada seperti kemaren pagi, akhirnya aku sampai di atas bukit. Aku berdiri hanya beberapa meter saja dari tempat Opung Tarjo duduk dan meniup seruling bambu. Sengaja aku tidak langsung menghampirinya, hanya berpura-pura mengambil foto-foto pemandangan sekitar sambil sekali-sekali mengamatinya. Ia belum begitu tua untuk ukuran orang yang pantas untuk dipanggil Opung, mungkin usianya hanya lima atau sepuluh tahun di atas ku. Hanya kulitnya yang kasar dan hitam terbakar matahari, serta kumis dan jenggot panjang yang menutupi dagu dan lehernya membuatnya seakan lebih tua belasan tahun dari usia sebenarnya, mungkin. Aku berniat untuk mengambil fotonya dan membidikkan kameraku ke arahnya, hanya saja sebelum aku sempat menekan tombol rana di kameraku, ia terlihat terusik dan menghentikan permainan serulingnya. “Hei, kau orang baru di sini?” tanyanya sedikit menghardik sambil berdiri menghadap ke arahku. Aku menurunkan kameraku, dan berjalan perlahan ke arahnya. Suara barusan terdengar berat dan bergetar, mungkin pita suara di tenggorokannya telah lama tidak digunakan untuk berusara. Logatnya begitu buruk, sampai-sampai aku tidak bisa menebak dengan pasti dari mana ia berasal, apakah benar dari Sumatra Utara seperti panggilanya, ataukah Jawa seperti yang disiratkan namanya. “Saya hanya mau mengantarkan beras titipan Pak Danar, Pak. Maaf kalau saya mengganggu Bapak.” Aku memberanikan diri menegurnya dari jarak hanya beberapa langkah. Sekarang dapat kuamati dengan lebih jelas penampilannya. “Kau orang baru?” ia bertanya lagi seperti tidak menghiraukan jawabanku sebelumnya. “Iya, saya keponakan Pak Danar yang baru datang dari Jakarta.” Ia terdiam sejenak seperti mengamati wajahku dalam-dalam sambil mengelus jenggotnya. “Akhirnya kau kemari. Duduklah.” Ia menunjuk bangku bambu di sisi kanannya. Aku tidak begitu paham kalimat yang terakhir ia ucapkan, aku hanya duduk di bangku itu dan menyerahkan sekantong beras yang aku bawa. “Ku lihat kau berdiri di sana kemarin, aku yakin kau akan kemari.” Mataku mengikuti arah telunjuknya yang menunjuk pematang tempat aku berdiri kemaren. Dari sini, tempat itu begitu jelas terlihat, begitu juga dengan desa itu. Bukan tidak mungkin Opung Tarjo telah mengamati aku yang berdiri di pematang sawah itu kemarin sebagaimana aku yang juga mengamati ia yang duduk di tempat aku duduk sekarang. Aku mencoba mengajukan beberapa pertanyaan tentang dirinya, daerah asalnya, keluarganya, dan berbagai hal lain yang aku kira menarik untuk dibincangkan. Namun dia sama sekali tidak menjawab, hanya terus dalam kekhusyukan meniup seruling bambunya. “Jakarta, aku dulu pernah di sana.” Ia menjawab singkat sebelum kemudian berdiri. Aku berpikir sejenak, mungkin aku benar-benar telah mengusik kesendiriannya, dan kedatanganku yang penuh dengan basa-basi ini sungguh tidak ia harapkan. Percuma menghujaninya dengan pertanyaan, sikap anti sosialnya adalah penghalang besar bagi diriku untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaanku. Ah, tidak begitu penting juga, pikirku, aku berpamitan pulang. “Bilang terima kasih sama Pak Danar, dariku.” Ia sepertinya tengah menyambut gembira kepergianku beberapa saat lagi, aku pun melangkahkan kaki menuju jalan menuruni bukit saat kemudian aku dengar ia berteriak “Datanglah kemari besok pagi kalau kau mau aku akan ceritakan untukmu.” Aku menoleh kebelakang dan tersenyum, kemudian mengangkat tangan kanan meberikan jempolku ke arahnya sebagai jawaban yang aku kira tak kalah membingungkan dengan kata-katanya barusan yang hampir tanpa intonasi sama sekali. Hari berganti, terasa begitu cepat setalah sehari kemarin aku habiskan untuk berjalan-jalan menyusuri kota Jogja, membeli oleh-oleh dan beberapa potong batik serta sebuah topi cowboy dari anyaman kulit kayu untuk calon istriku tercinta, dan siang nanti aku sudah harus kembali ke Jakarta, sesuai dengan apa yang sudah aku rencanakan. Jam dinding masih menunjukkan pukul setengah empat pagi, aku baru saja terjaga setelah semalam nyaris tidak bisa tidur. Di luar masih begitu sepi, hanya sayup terdengar suara orang mengaji di masjid kampung. Bayangan Opung Tarjo kembali mengusik pikiranku. Terpikir tentang bagaimana pertemuan kami kemarin dan berbagai kemungkinan tentang apa yang hendak ia ceritakan pagi nanti. Sempat aku membayangkan betapa akan sangat mebosankan mendengarkan lelaki itu bercerita dengan suara berat bernada datar dan sulit dimengerti. Rasanya jauh lebih baik ia diam saja dan meniupkan nada-nada merdu dari serulingnya. Waktuku tak banyak hari ini, selepas subuh aku bergegas menyusuri pematang-pematang sawah dan kemudian mendaki dalam keremangan cahaya. Aku sampai di atas bukit dan tak kulihat Opung Tarjo di sekitar gubuk itu, sebuah lampu pijar dengan watt kecil menerangi beranda gubuk, sepertinya aku kepagian, pikirku. Sembari menunggu, aku sempatkan untuk melihat-lihat tanaman sayuran milik Opung, hampir semuanya berjenis kacang-kacangan. Di dataran yang lebih tinggi, terdapat tanaman kacang tanah dan kacang kedelai, tidak begitu luas memang, tapi aku rasa ini sudah cukup untuk memenuhi permintaan bibit untuk orang-orang di desa-desa sekitar. Di samping gubuk terdapat barisan tanaman singkong berdaun lebat, tingginya kurang dari satu meter, dengan bagian atas yang bercabang, menandakan bagian pucuknya yang masih muda sering dipetik dengan cara dipatahkan. Lagi-lagi aku terpikir tentang Sumatra, tentang daun singkong rebus yang hampir selalu ada di rumah makan padang, bisa jadi Opung Tarjo ini memang sangat Sumatra sekali. Pintu gubuk berdecit, Opung Tarjo keluar dari gubuk, sinar jingga matahari pagi menyambutnya. Aku berjalan menghampirinya, “Selamat pagi, Pak.” sapaku. “Pagi. Tunggu aku sebentar di bangku itu, ku siapkan sarapan dulu untuk kita.” Aku mengangguk dan tersenyum, lalu menuju bangku bambu tempat kami duduk kemarin. Sebenarnya aku tidak ingin merepotkan lelaki itu, namun rasa lapar dan ada juga sedikit rasa penasaran dengan menu sarapan ala Opung Tarjo, mebuatku tak ingin berbasa-basi pagi ini, toh tidak baik menolak rejeki. Opung Tarjo keluar dengan membawa nampan kayu di depan dadanya. Sepiring ketan bertabur kelapa goreng, singkong goreng, dan dua gelas kopi tubruk diletakkan di atas bangku, aku menelan air liur. “Menu istimewa untuk tamu istimewa, silahkan.” Ia tersenyum, senyuman pertama yang aku lihat di wajahnya. Aku pun membalas senyumannya sambil menyodorkan undangan pernikahanku yang sengaja aku siapkan untuk sekedar berbasa-basi padanya, “Kurang dua minggu lagi saya akan menikah di Jakarta, Pak. Barangkali bapak bersedia datang.” Ia memperhatikan undangan itu kemudian menaruhnya di bangku. “Kau merokok?” tanyanya sambil mengeluarkan bungkusan tembakau dari sakunya dan menyodorkannya padaku. “Terima kasih, saya merokok putih.” Aku mengeluarkan sebungkus rokok putih dari saku celanaku kemudian menyeruput kopi panas sambil memperhatikan lelaki itu melinting tembakau. “Kopinya enak, Pak. Aroma dan rasanya pas.” Aku terus menyeruput sambil menikmati rasanya yang benar-benar nikmat, kali ini sama sekali bukan sebatas basa-basi. Sudah lama aku tidak merasakan kopi senikmat ini. “Itu kopi babi.” Aku berhenti menyeruput dan meletakkan gelas kembali ke atas nampan, hampir saja kopi yang ada di mulutku aku semburkan. Kata-katanya barusan membuat perutku tiba-tiba mual, terbayang kopi ini dicampur dengan lemak babi untuk menambah cita rasa. Batak sialan! Aku menggerutu dalam hati. Ia terkekeh dan menghisap lintingan tembakaunya, kemudian terkekeh lagi. “Kau kira aku campur kopi ini dengan minyak babi?” Tawanya semakin keras seakan tak peduli dengan aku yang benar-benar kesal dengan “Kopi babi” dan tawanya. “Kopi babi. Itu cara temanku menyebut kopi racikanku. Dulu. Untuk kenikmatan kopi yang sulit dijelaskan. Minum saja. Tidak ada sedikit campuran babi di situ. Lebih baik disebut kopi babi dari pada kopi senggama kan?” Tawa kami pun meledak. Mungkin beginilah cara Opung Tarjo mencairkan suasana. “Bapak belajar di mana bisa meracik kopi senikmat ini? Dulu sahabat saya juga jago meracik kopi.” “Waktu bekerja di lapo tuak.” Lagi-lagi jawabannya mebuatku tidak nyaman. “Jadi Bapak dulu penjual tuak?” Ia tertawa lagi. “Kau terlalu serius. Pantas kepalamu botak. Taruhan kau tak akan bisa punya rambut panjang dan lebat sepertiku.” Tawa berselang. “Aku tidak pernah menjual tuak. Aku hanya ingin hidup baik, berasal dari yang baik, dan semoga berakhir baik.” Ia terdiam. “Kenyataannya aku gagal menjadi orang baik.” “Bapak tinggal sendiri? Dan saya dengar, Bapak yang sedikit banyak sudah membantu warga desa untuk bercocok tanam dengan lebih baik, bukankah kenyataannya bapak sudah berhasil menjadi orang baik?” “Kau ingin dengar ceritaku?” Aku menganggukkan kepala. “Tidak seorangpun yang pernah mendengar cerita ini dariku. Orang yang tau pasti tentang cerita ini hanyalah orang-orang yang mengalaminya sendiri. Jika ada orang lain yang tau cerita ini, pastilah ia telah mendengarnya dari mulut bedebah itu. Aku pun tak ingin kalah dari bedebah yang pandai bercerita itu, dan hari ini akan kuceritakan kisah itu padamu. Teman, kau kupilih untuk mendengar cerita ini karena mungkin kita tidak pernah saling mengenal sebelum ini, dan mungkin kita tidak akan pernah bertemu lagi setelah ini. Tapi berjanjilah padaku kau tak akan ceritakan kisahku ini pada orang lain. Cukup kau simpan cerita ini untuk dirimu sendiri, atau buang saja cerita sampah ini jika kau tak ingin menyimpannya.” Aku hampir sama sekali tidak paham dengan maksud prolog cerita tadi. Aku hanya menganggukkan kepala dan berjanji padanya. Ia menjabat tanganku dan melanjutkan ceritanya. “Satu hal baik yang kau dengar tentang diriku bukan berarti seluruh hidupku baik, kan? Banyak cela dalam hidupku. Aku baik padamu pagi ini bukan berarti aku tak pernah menyakitimu, kan? Banyak orang yang telah aku sakiti. Ini adalah cerita tentang penghianatan yang menyakitkan. Andai bedebah itu tidak menghianatiku saat itu, mungkin aku sudah berbahagia hari ini, dan rasanya aku tak akan hidup sendirian di sini. “Bedebah itu sejatinya adalah sahabat baikku. Biarlah tetap kesebut ia sebagai bedebah agar terlihat rasa benciku padanya. Saat itu aku dan bedebah itu sama-sama mengadu nasib di Jakarta, saat kota itu baru saja bangkit dari kehancuran, penjarahan dan pembakaran belum lama berlalu, sisa-sisanya masih jelas terlihat. Kami memulai bisnis bersama, bersusah-susah bersama, sampai akhirnya bisnis yang kami bangun mulai memberi keuntungan, dari jumlah yang sedikit, sampai akhirnya berlipat. Kami tengah berada di puncak kesuksesan. “Seorang wanita masuk dalam kehidupanku, seperti bidadari yang tiba-tiba turun dari langit. Ia mencintaiku, sungguh dari lubuk hatiku yang paling dalam aku pun mencintainya, namun tak kubiarkan wanita itu tahu. Saat itu aku hanya ingin berkonsentrasi pada bisnis, aku dan bedebah itu pernah sepakat untuk memberikan diri kami sepenuhnya untuk bisnis. Wanita itu kubiarkan berada sejauh mungkin dari hidupku. “Sampai satu hari bedebah itu datang padaku dan mengatakan bahwa wanita itu telah meminta bantuannya untuk mengatakan kepadaku bahwa ia benar-benar mencintaiku dan memintaku untuk mengambil keputusan. Aku tak menghiraukannya. Dan saat ia datang untuk yang kesekian kalinya, aku katakan pada bedebah itu ‘Aku mencintai wanita itu, tapi aku tidak bisa memberikan cintaku sekarang. Akan lebih mudah jika kau sampaikan padanya bahwa aku tidak bisa mencintainya saat ini, aku berharap ia akan menungguku.’ Bedebah itu berjanji untuk menyampaikannya, ‘Semua yang terbaik untuk mu dan dia, karena kalian saling mencintai, aku janji.’ begitu katanya. Bedebah itu pergi dan tidak pernah menyinggung prihal wanita itu lagi di hadapanku. “Beberapa bulan setelahnya, kuperhatikan bedebah itu mulai sibuk dengan urusan pribadinya. Selalu menghindar dariku. Begitu juga dengan wanita itu, ia menghindar dariku, mungkin ia kecewa, mungkin aku menyakitinya, entahlah, dan semakin hari kulihat bedebah itu semakin dekat saja dengan wanita itu. Aku sadar, bedebah itu memang terlalu pandai berkata-kata. Entah apa yang telah ia katakan tentang diriku pada wanita itu, entah sudah berapa banyak cerita yang ia berikan pada wanita itu setelah secara tak sengaja kutemukan puluhan file berisi puisi-puisi di komputer kerjanya, di dalamnya terdapat nama wanita itu. “Wanita itu luluh. Bedebah itu berhasil membeli cinta wanita itu tepat di hari ulang tahunnya, tepat di depan mataku. Entah berapa botol bir yang aku tenggak malam itu demi mengobati sakit dari luka menganga di hatiku. Dan terus beberapa bulan setelahnya dengan segala macam usaha aku menahan rasa sakit itu. Bagaimanapun, bedebah itu menghianatiku. Ia mulai tidak serius menjalankan bisnis kami, hanya keuntungan saja yang ia kejar, sementara aku masih bekerja keras agar bisnis itu tetap berjalan dan bekerja keras untuk membuang jauh rasa sakitku. “Agaknya benar kata pepatah, sepandai-pandai menyimpan bangkai pasti akan tercium juga. Delapan bulan berlalu dan wanita itu agaknya mulai melihat bagaimana sejatinya bedebah itu. Wanita itu akhirnya meninggalkan bedebah itu, dan kembali padaku, kemudian kami berbahagia.” Ia berhenti bercerita dan membakar linting rokoknya. Bulu kudukku berdiri. Aku agaknya mulai percaya bahwa Opung Tarjo adalah orang sakti. Bagaimana bisa ia menceritakan kisah hidupnya yang benar-benar persis dengan cerita yang pernah aku alami? Atau mungkin ia telah menerawang kehidupanku di masa lalu dan menceritakan dalam bahasanya? “Lalu bagaimana dengan bedebah itu?” aku bertanya sedikit gemetar. “Ia pergi entah kemana, membawa semua uang yang menjadi haknya dari bisnis kami.” Ini ceritaku! Dalam hati aku menggumam. “Dan wanita itu?” Lelaki itu berdiri. “Aku harus mengurus tanaman di kebun. Besok saja aku ceritakan tentang wanita itu.” “Maaf, saya harus kembali ke Jakarta siang ini.” Aku melirik jam tangan, satu jam lagi aku harus sudah berangkat ke bandara. Namun lelaki itu seakan tidak mendengarkan kata-kataku, ia tetap berjalan menuju gubuk, meninggalkanku dalam setumpuk rasa bingung dan penasaran.
***
Jam tiga kurang lima belas menit, selesai sudah saya menulis cerita. Dicetak dalam dua rangkap, salinan pertama akan saya kirimkan ke sahabat saya di Sumedang untuk membayar lunas janji yang terucap sembilan tahun lalu; sebuah cerita tentang cinta, persahabatan dan penghianatan, yang saya tulis sendiri, berasal dari pikiran sendiri, dan saya alami sendiri. Sebuah undangan pernikahan tergeletak di atas meja, saya ambil dan menuliskan alamat yang tertera di sana ke selembar kertas yang saya tempelkan pada sebuah kotak paket berisi salinan kedua cerita dan sebuah hiasan dinding perak yang saya beli di Kotagede kemarin siang. Keduanya akan menjadi kado pernikahan seorang (mantan) sahabat dan mantan kekasih. Selembar kartu ucapan selamat tak lupa saya selipkan di dalamnya; Sahabat, maafkan aku harus bercerita seperti ini. Semoga kau mengerti sungguh aku merasakan apa yang kau rasakan dulu, aku memang seorang bedebah yang tega menghianati sahabat baikku sendiri demi kesenangan diriku sendiri. Sahabat, wanita itu sekarang adalah pengantinmu. Semoga kalian berbahagia dan sudilah kiranya memaafkan kesalahanku. Dari seorang bedebah, Farhan. Barang-barang dan amplop berisi uang hasil penjualan tanah sudah dikemas rapi ke dalam koper. Sebelum matahari terbit saya harus keluar dari desa ini, mengirimkan kedua paket, dan pergi jauh ke tempat baru yang tidak seorangpun tahu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H