Setumpuk surat cinta kutemukan kembali di tumpukan buku-buku berdebu dalam sebuah amplop coklat yang rapuh. Kuhitung, dua puluh lima lembar jumlahnya, sama dengan usia kita, sekarang. Sempat ku cari dua lembar foto yang seingatku dulu ku letakkan dalam amplop coklat itu, sudah tak ada di situ. Ah, sungguh aku merindu wajahnya.
Satu per satu ku baca secara berurutan. Beribu kenangan melayang-layang di kepalaku. Ingat saat pertama kali ia malu-malu menyelipkan surat pertamanya dalam buku catatanku, saat kuhabiskan siang untuk merangkai kata dalam surat balasan untuknya, merangkai puisi ala kadarnya demi menandingi puisi-puisinya yang sanggup meluluhkan angkuh hati ini, malam-malam penuh rindu menanti saat kita bertemu dan saling bertukar surat cinta secara sembunyi-sembunyi sepulang kuliah. Ah, senyum itu, tawa itu, suara itu sentuhan itu, hangat itu.
Tak terasa, lembar ke dua puluh lima selesai ku baca. Ku raba batang hidungku, nyeri. Pyar! Gelas berisi anggur yang tinggal seperempat terhempas, pecah. Tinju laki-laki kekasihnya mendarat di hidungku, pecah. Ia menjerit, tangisnya, pecah. Anggur mengalir di lantai, darah mengalir dari hidungku, air mata mengalir di pipinya. Dua puluh lima lembar, hanya ini yang tersisa, selebihnya dimusnahkan laki-laki kekasihnya dalam api yang berkobar serupa amarahnya. Dua pulah lima lembar, catatan tentang cinta kita, terlarang. Hari berlalu, Ia ditinggal kekasihnya, aku ditinggal ke kasihku, dan kita tak pernah bertemu lagi.
Dering telepon genggam membuyarkan lamunanku, sebuah pesan singkat kuterima; “Dua puluh lima bulan kurang dua puluh lima jam.. Mas lupa ya??”. Aku tersenyum, “Mana mungkin aku lupa merah pipimu dan angguk malu-malu saat kamu terima aku sebagai kekasihmu.” Balasku. Aku melirik setumpuk surat cinta tadi sembari berbalas pesan dengan kekasihku, pikiranku membuncah.
“Dua puluh lima bulan, boleh aku minta sesuatu?” Pintaku.
“Boleh.. Mau minta apa?”
“Selembar surat cinta.”
“Untuk apa? Apa cinta harus dituliskan?”
“Aku cuma ingin dengar kata cinta darimu, jika sulit untuk mengatakannya, lewat tulisan juga boleh.” Sebuah smiley senyuman aku tambahkan di akhir kalimat.
“Mas, bukan masalah ingin atau ngga, bukan soal sulit atau ngga, cinta itu soal rasa, Mas, bukan kata-kata. Iya kan?”
Aku diam, pikiranku makin gelisah. Dua puluh lima bulan, haruskah aku masih selalu ragu akan cintamu dan selalu mempertanyakannya? Sudahkan aku benar-benar merasakan cintamu?
Dan tiba-tiba hatiku berbisik;
Diam tidak akan mengatakan lebih daripada maksudnya
Namun kata-kata tetaplah sekedar kata-kata
Tidak untuk sekedar ditulisakan dan diucapkan, tapi dilakukan
Dua puluh lima bulan, sudahkah kau beri ia cinta seperti atau lebih dari kata-kata yang pernah kau tuliskan dan ucapkan?
***
16.08.10
Dua puluh lima hari lagi menuju 'Idul Fitri, semoga bisa dijalani sebaik mungkin.
Dari lamunan saat tak bisa tidur menahan sakit gigi. Ah, ternyata sakit gigi tak lebih baik dari pada sakit hati...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H